Welcome to benupangestu.blogspot.com

Selasa, 23 Januari 2018

Makalah Eksistensi Pidana Mati dalam Pancasila dan Hukum Alam

EKSISTENSI PIDANA MATI DALAM
PANCASILA DAN HUKUM ALAM

Oleh: Benu Pangestu[1]


BAB I
PENDAHULUAN

A. Identifikasi Masalah
            Masalah dari tema penelitian penulis yaitu mengenai banyaknya penolakan dan tekanan dari pihak-pihak eksternal yang ingin agar hukuman mati dihapuskan dan maraknya kasus kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) beberapa waktu lalu yang membuat marah dan prihatin yang mendalam masyarakat Indonesia seperti  pembunuhan, pemerkosaan disertai pembunuhan, hingga pedofil disertai pembunuhan. Bertolak dari identifikasi masalah tersebut, maka dirumuskan beberapa pokok masalah dari penelitian sebagai berikut :
1.    Bagaimana Urgensi Pidana Mati dalam Perspektif Filsafat Hukum dan Pancasila?
2.    Bagaimana Peranan Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif terhadap Eksistensi Pidana Mati?

B. Kerangka Pemikiran
           Sehubungan dengan mata kuliah Filsafat Hukum yang kami dalami, sub materi tentang Pidana Mati ini juga menjadi suatu hal yang menarik untuk disoroti. Karena didalamnya terdapat hal-hal yang perlu dikaji. Maka dari pada itu, penulis harus memahami hal-hal tersebut dalam tujuan dan mekanisme yang berlaku sehingga dapatlah ditarik suatu kesimpulan.
            Dalam sejarah perkembangannya, teori-teori yang berkaitan tentang pidana mati dikemukakan oleh banyak filsuf, teori-teori pemidanaan mempertimbangakan berbagai aspek sasaran yang hendak dicapai dalam penjatuhan pidana.[2]
            Immanuel Kant, mengatakan bahwa pidana mengkehendaki agar setiap perbuatan melawan hukum harus dibalas karena merupakan suatu keharusan yang bersifat mutlak yang dibenarkan sebagai pembalasan. Oleh karena itu konsekuensinya adalah setiap pengecualian dalam pemidanaan yang bertujuan untuk mencapai tujuan tertentu selain pembalasan harus dikesampingkan. Tokoh lain yang menganut teori absolut ini adalah Hegel, ia berpendapat bahwa pidana merupakan suatu keharusan logis sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan.
            Secara yuridis, kejahatan dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan yang melanggar undang-undang atau ketentuan yang berlaku dan diakui secara legal. Secara kriminologi yang berbasis sosiologis kejahatan merupakan suatu pola tingkah laku yang merugikan masyarakat (dengan kata lain terdapat korban) dan suatu pola tingkah laku yang mendapatkan reaksi sosial dari masyarakat.[3]
          Kejahatan adalah pengingkaran terhadap ketertiban hukum suatu negara yang merupakan perwujudan dari cita-cita susila, maka pidana merupakan suatu pembalasan. Lebih lanjut Hegel mengatakan bahwa tindak pidana itu harus ditiadakan dengan melakukan pemidanaan sebagai suatu pembalasan yang seimbang dengan beratnya perbuatan yang dilakukan. Hugo de Groot dengan mengikuti pendapat dari Phitagoras, menuliskan bahwa kita tidak seharusnya menjatuhkan suatu pidana karena seseorang telah melakukan kejahatan, akan tetapi untuk mencegah supaya orang jangan melakukan kejahatan lagi.

C. Hasil Yang Akan Diperoleh
            Diharapkan dari tulisan ini, akan diperoleh hasil sebagai berikut :
1. Sebagai kontribusi pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dibidang hukum.
2. Menambah wawasan dan pengetahuan dalam bidang hukum khususnya tentang tantangan yang dihadapi dalam menegakkan eksistensi pidana mati di Indonesia.
3. Untuk memperkuat eksistensi pidana mati dalam system pemidanaan di Indonesia.













BAB II
PIDANA MATI DALAM HUKUM NASIONAL

A. Tujuan Pidana Mati

            Menurut Prof. Dr. Barda Nawawi Arief : bahwa tujuan dari kebijakan pemidanaan yaitu menetapkan suatu pidana tidak terlepas dari tujuan politik kriminal. Dalam arti keseluruhannya yaitu perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Oleh karena itu untuk menjawab dan mengetahui tujuan serta fungsi pemidanaan, maka tidak terlepas dari teori-teori tentang pemidanaan yang ada.

            Tujuan pemidanaan adalah sebagai berikut :
1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat.
2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna.
3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

            Tujuan politik hukum pidana mati diartikan sebagai arah kebijakan hukum (legal policy) tentang pidana mati yang mencakup kebijakan negara tentang bagaimana hukum tentang pidana mati itu telah dibuat dan bagaimana pula seharusnya hukum tentang pidana mati itu dibuat.[4]

            Pidana mati masih menjadi hal yang menarik untuk diperbincangkan, karena selalu menjadi pembahasan utama karena sering dihubungkan dengan konteks hak asasi manusia. Pidana mati, bagi pihak yang kontra adalah salah satu bentuk pelanggaran hak hidup[5]. Penolakan dari pihak-pihak atas keberadaan pengaturan pidana mati di Indonesia masih berlangsung hingga sekarang. Dalam berbagai rezim pemerintahan, pidana mati tetap menjadi bagian dari sistem pidana nasional. Walaupun telah meratifikasi ICCPR pada tahun 2005 dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005, eksistensi pidana mati di Indonesia masih bertahan.[6]

B. Pidana Mati dalam Peraturan Perundang-undangan

            Secara lex generalis dalam hukum materiil, adanya pidana mati di Indonesia dicantumkan seperti pada rumusan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 11 KUHP jo. Undang-Undang Nomor 2/PN.PS/1964, pasal 104 tentang makar yang dimaksudkan untuk menghilangkan nyawa atau kemerdekaan Presiden atau Wakil Presiden, juga pasal-pasal KUHP yang mengatur kejahatan terhadap keamanan negara dan pembunuhan berencana yaitu Pasal 340, dan peraturan perundang-undangan di luar KUHP (lex specialis) yang menetapkan perbuatan pidana dengan ancaman pidana mati, misalnya Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Terorisme dan Narkotika. Tulisan ini akan meneliti tentang kajian hukum pidana Indonesia dalam hal pidana mati.

            Bahwa Indonesia termasuk Negara yang masih menganut pidana mati dalam hukum positifnya. Terkait dengan penerapan pidana mati bertitik tolak pidana mati sebagai sanksi pidana dengan melihat bahwa yang dituju adalah suatu proyeksi mengenai efektivitasnya sebagai sarana prevensi maupun represi. Hal ini perlu disoroti, karena perihal pidana mati mengenai perlu atau tidaknya diterapkan sebaiknya juga dilihat apakah terpidana mati dapat memberikan pengaruh agar tujuan pemidanaan untuk mengurangi kejahatan. Sehingga perlu dikemukakan kembali, perspektif pidana mati dalam Pancasila.[7]













BAB III
PIDANA MATI DALAM PERSPEKTIF PANCASILA

A. Dibentuknya Pancasila

            Ketika para pendiri negara mempersiapkan pendirian Negara Republik Indonesia, mereka telah secara sadar bersepakat untuk menolak Individualisme, untuk keluar dari pengaruh grand paradigm saat itu, dan memilih untuk melandaskan organisasi negara dan penyelenggaraan pemerintahan pada jatidiri bangsa Indonesia sendiri, yakni pandangan hidup yang terbentuk dalam kultur bangsa Indonesia (Volksgeist bangsa Indonesia). Pandangan hidup tersebut ditampilkan oleh Sukarno dalam wujud lima asas (sila) yang kemudian dinamakan Pancasila.[8]

            Dapat dilihat arti dan makna hubungan yang dapat dijadikan dasar untuk adanya hukum dalam formulasi Pancasila. Apabila dicermati dari Sila-sila Pancasila, yaitu. Pertama, Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Kedua, Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Ketiga, Sila Persatuan Indonesia. Keempat, Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawatan/ perwakilan. Kelima, Sila Keadilan Sosial  dari kelima sila-sila tersebut terdiri dari tiga unsur penting, yaitu (a) Tuhan, (b) manusia, dan (c) alam.

B. Esensi Pancasila
                Dari ketiga esensi tersebut dapat dipahami bahwa Tuhan sebagai dunia idea (ruh), alam (dunia) sebagai materi, dan manusia tempat berpadunya dunia idea (ruh) dan materi (alam). Saripati dari tiga unsur itu asalnya adalah roh dan materi. Esensi ruh dan meteri terlihat jelas pada diri manusia, sesuai dengan esensinya yang demikian  itu, manusia mempunyai kedudukan dan fungsi yang sentrum dan  penting di dunia.

          Keberadaan dari tiga esensi itu saling berhubungan satu sama lainnya dan merupakan satu kesatuan yang saling terkait pula antara satu dengan lainnya. Bertitik tolak bahwa hubungan adalah hal yang esensial untuk adanya hukum, maka berdasarkan Pancasila, ada tiga pola hubungan yang paling mendasar, yaitu:

1.    Hubungan Tuhan dengan manusia, dan alam.
2.    Hubungan antar sesama manusia.
3.    Hubungan antar manusia dan alam lingkungan.

            Ketuhanan Yang Maha Esa, memimpin cita-cita kenegaraan. Sebagai causa prima, pengakuan adanya keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sila Perikemanusiaan, adalah sebagai sendi yang utama untuk melaksanakan masyarakat sosialis Indonesia, sehingga pidana mati dapat digunakan sebagai alat radikal, guna mencegah tindakan di luar batas-batas perikemanusiaan demi terlaksananya cita-cita masyarakat sosialisme Indonesia.







BAB IV
PIDANA MATI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ALAM

A. Sejarah Hukum Alam

            Sejarah hukum alam adalah kisah kegagalan ummat manusia dalam mencari keadilan absolut. Berulang kali, dalam kurun waktu 2500 tahun yang lalu, muncul pemikiran tentang hukum alam, dalam berbagai bentuknya, sebagai suatu  ungkapan untuk mencari cita-cita yang lebih tinggi dari hukum positif yang telah ditolak  dan dicemoohkan pada interval waktu tertentu.[9]

            Sebagai dasar dari tatanan dari internasional, hukum alam dalam perkembangannya telah diilhami oleh kaum Stoa, ilmu hukum Romawi dan filsafat, pemuka-pemuka gereja, tatanan hukum masyarakat barat pada abad pertengahan dan sistem hukum internasional dari Grotius; melalui teori-leori Locke dan Paine, hukum alam telah meletakkan landasan bagi filsafat individualistis dari konstitusi Amerika dan konstitusi modern lainnya.[10]

            Dalam Bahasa Indonesia, istilah “hukum alam” lebih menandakan lex naturae dalam arti yang umum, yaitu sebagai daya yang menyebabkan bahwa segala yang ada di dunia ini berjalan menurut aturan yang telah ditetapkan. Karenanya untuk mengungkapkan arti lex naturalis sebaiknya dipakai istilah lain yaitu hukum kodrat.

            Hukum kodrat lebih kuat dari pada hukum positif, sebab menyangkut makna kehidupan manusia sendiri. Karenanya hukum itu mendahului hukum yang dirumuskan dalam undang-undang dan berfungsi sebagai azas bagi hukum yang dirumuskan dalam undang-undang tersebut. Dengan kata lain hukum adalah aturan, basis bagi aturan itu ditentukan dalam aturan alamiah yang terwujud dalam kodrat manusia.[11]

            Hukum Tuhan sejatinya adalah hukum yang tertinggi (supreme law), dan pada dasarnya kitab-kitab yang telah diwahyukan Tuhan dengan perantara Malaikat kepada pada Nabi baik berupa Taurat (Torah) yang diterima Nabi Musa (Moses) yang disebut sebagai Perjanjian Lama maupun Injil (Gospel) kepada Nabi Isa (Jesus) yang disebut sebagai Perjanjian Baru yang mana keduanya disatukan dalam satu buku Alkitab (Bible), hingga diturunkannya Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad merupakan ajaran samawi (langit) oleh Allah SWT, namun kitab-kitab sebelum Al-Quran telah diteliti dan diyakini banyak cendikiawan telah mengalami perubahan oleh karena campur tangan manusia.

B. Pandangan Hukum Islam
            Ancaman pidana mati selain terdapat dalam Bible, juga ada dalam Al-Qur’an yang dikenal dalam hukum Islam yang disebut Qishash. Oishash dalam hukum Islam adalah hukuman setimpal, hukum bunuh yang harus dilaksanakan terhadap diri seseorang yang telah melakukan pembunuhan. Tapi hukum ini tidak harus dilaksanakan, dengan kata lain hukum ini dapat gugur manakala ahli waris yang terbunuh memberi maaf kepada pihak yang membunuh dengan membayar suatu diyat.

            Pandangan Islam terhadap pidana mati tercantum dalam Al-Qur’an Surat AI-Baqarah ayat 178 dan 179, yang terjemahannya sebagai berikut:
            Ayat 178 ; "Hai orang- orang yang beriman, diwajibkan atasmu Qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang   merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat     suatu pemaafan dari saudara terbunuh, hendaklah (yang   memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar diyat kepada pihak yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah satu keringanan dari Tuhanmu, dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih."
            Ayat 179 ; “ Dalam hukum Qishash itu ada (jaminan kelangsungan)     hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa".










BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

            Dapat disimpulkan dari apa yang telah dibahas, bahwa tujuan dari kebijakan pemidanaan yaitu menetapkan suatu pidana tidak terlepas dari tujuan politik kriminal. Dalam arti keseluruhannya yaitu perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan.

            Ketuhanan Yang Maha Esa, memimpin cita-cita kenegaraan. Sebagai causa prima, pengakuan adanya keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum Nasional, tentu memiliki peran dan legal standing yang kuat dalam pembentukan pidana mati. 

            Nilai Ketuhanan pada sila pertama sebagai asas tertinggi dan sila kedua yaitu Kemanusiaan yang adil dan beradab, adalah sebagai sendi yang utama untuk melaksanakan pidana mati, sehingga pidana mati dapat digunakan sebagai alat radikal, guna mencegah tindakan di luar batas-batas perikemanusiaan demi terlaksananya cita-cita masyarakat yang adil dan makmur.

B. Saran
            Dari kesimpulan yang telah ditarik, maka sudah seharusnya lembaga Legislatif sebagai pembentuk Undang-Undang bersama dengan Eksekutif sebagai pelaksana, dan Yudikatif yang juga dapat menjadi sebagai pembentuk hukum (negative legislator) harus bersinergi untuk memperkuat eksistensi dan menambah hukum pidana mati dalam peraturan perudang-undangan yang ada guna efek jera pelaku tindak pidana demi kemajuan sistem pemidanaan di Indonesia.



DAFTAR PUSTAKA
Abul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press,             2006
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1990
Andi Hamzah dan A. Sumagelipu, Pidana Mati Indonesia, Jakarta: Ghalia    Indonesia,
Bernard Arief Sidharta, Filsafat Hukum Dalam Konteks Ideologi Negara Pancasila,             Bandung : Tanpa Penerbit, 2012
Dwinda Priyanto, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Bandung : PT.             Rafika Aditama, 2009
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Rajawali Pers,Jakarta, 2010

_______________, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 2001
Muhammad Mustafa, Kriminologi, Depok : FISIP UI PRESS, 2007
W. Freidmann, Teori dan Filsafat Hukum Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum,      Jakarta : Rajawali Pers, 1990



[1] Alumnus Prodi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah & Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013
[2] Dwinda Priyanto, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Bandung : PT. Rafika Aditama, 2009, hlm. 22.
[3] Muhammad Mustafa, Kriminologi. Depok: FISIP UI PRESS, 2007, hlm 16.
[4] Pengertian ini disandarkan pada definisi konsep tentang politik hukum, Moh. Mahfud MD., Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 2001, hlm. 9.
[5] Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1990, hlm.300-301.
[6] Moh. Mahfud MD., Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Rajawali Pers,
Jakarta, 2010, hlm. 200.
[7] Andi Hamzah dan A. Sumagelipu, Pidana Mati Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia,hlm 69-77
[8] Bernard Arief Sidharta, Filsafat Hukum Dalam Konteks Ideologi Negara Pancasila, Bandung : Tanpa Penerbit, 2012, hlm. 6
[9] W. Freidmann, Teori dan Filsafat Hukum Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum, Jakarta : Rajawali Pers, 1990, hlm. 47.
[10] Ibid, hlm. 49
[11] Abul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2006, hlm. 88.