Welcome to benupangestu.blogspot.com

Rabu, 16 Mei 2018

Kedudukan Lembaga KPK dalam Pemberantasan Korupsi (Late Post)


Kedudukan Lembaga KPK dalam Pemberantasan Korupsi
Oleh: Benu Pangestu, SH

A. Pengertian Korupsi
            Mengawali deskripsi tentang pengertian korupsi, maka dapat dimulai dengan ungkapan terkenal yang pernah dikemukakan oleh Lord Acton sebagai berikut, yaitu : “power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely”, artinya kekuasaan cenderung untuk korupsi dan kekuasaan yang absolut cenderung korupsi absolut. Mengutip ungkapan dari Lord Acton tersebut, dengan maksud dan tujuan untuk mengingatkan bahwa di manapun dibelahan bumi ini kekuasaan selalu sangat rentan terhadap tindak pidana korupsi. [1]  
Ketika mendengar kata korupsi, hal yang pastinya langsung muncul di dalam pikiran kita adalah hal yang buruk dan meresahkan. Arti harafiah dari kata itu adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah seperti dapat dibaca dalam The Lexion Webster Dictionary.[2]
Senada dengan istilah tadi, AS Hornby, E.V. Gatenby, and H Wakefield mengatakan, korupsi (corruption), adalah the offering and accepting of bribes (penawaran atau pemberian dan penerimaan suap). Dikatakannya juga, “corruptions decay”, yang berarti kebusukan atau kerusakan.[3] Sudah tentu yang dimaksudkan “busuk” atau “rusak” itu, ialah moral atau akhlak dari oknum yang melakukan perbuatan korupsi tersebut.[4]
Menurut Fockema Andreae,[5] kata korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio atau corrruptus (Webster Student Dictionary : 1960). Selanjutnya disebutkan bahwa coruptio itu berasal pula dari kata corrumpere , suatu kata latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa eropa seperti Inggris, yaitu Corruption, corrupt; Prancis, yaitu corruption; dan Belanda, yaitu corruptie (korruptie). Kita dapat memberanikan diri bahwa dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia, yaitu “korupsi.”[6]
Definisi korupsi di dalam kamus lengkap Webster’s Third New International Dictionary adalah “ajakan (dari seorang pejabat politik) dengan pertimbangan-pertimbangan yang tidak semestinya (misalnya suap) untuk melakukan pelanggaran tugas.[7]
Ungkapan Lord Acton diatas lebih diperkuat lagi dengan adanya empat tipe korupsi sebagaimana dikemukakan oleh Piers Beirne and James Messerchmidt yang mana keempat macam atau tipe perbuatan korupsi tersebut adalah sangat berkaitan erat dengan kekuasaan, yaitu Political Bribery, Political Kickbacks, Election Fraud, dan Corrupt Campaign Practices.[8] 
            Lebih lanjut  Peirs Beirne dan James Messerchmidt menjelaskan mengenai empat tipe perbuatan korupsi tersebut :
1.      Political bribery, adalah kekuasaan di bidang legislatif sebagai bahan pembentuk undang-undang, yang secara politis bahan tersebut dikendalikan oleh suatu kepentingan karena dana yang dikeluarkan pada masa pemilihan umum sering berhubungan dengan aktivitas perusahaan tertentu yang bertindak sebagai penyandang dana. Di mana individu penguasa sebagai pemilik perusahaan berharap agar anggota perlemen yang telah diberi dukungan dana pada saat pemilihan umum dan yang kini duduk sebagai anggota parlemen dapat membuat peraturan perundang-undangan yang menguntungkan usaha atau bisnis mereka”.
2.      Political kickbacks, adalah kegiatan korupsi yang berkaitan dengan sistem kontrak pekerjaan borongan, antara pejebat pelaksana atau pejabat terkait dengan pengusaha, yang memberikan kesempatan atau peluang untuk mendapatkan banyak uang bagi kedua belah pihak”.
3.      Election fraud, adalah korupsi yang berkaitan langsung dengan kecurangan-kecurangan dalam pelaksanaan pemilihan umum, baik yang dilakukan oleh calon penguasa atau anggota parlemen ataupun oleh lembaga pelaksana pemilihan umum”.
4.       Corrupt campaign practices, adalah korupsi yang berkaitan dengan kegiatan kampanye dengan menggunakan fasilitas negara dan juga bahkan penggunaan uang negara oleh calon penguasa yang saat itu memegang kekuasaan”.[9]
            Definisi tentang korupsi dapat dipandang dari berbagai aspek bergantung daripada disiplin ilmu yang dipergunakan[10] sebagaimana yang dikemukakan oleh Benveniste, korupsi didefinisikan 4 jenis :
1.      Discretionary corruption, ialah korupsi yang dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun nampaknya bersifat sah, bukanlah praktek-praktek yang dapat diterima oleh para anggota organisasi. Contoh : seorang pelayanan perizinan tenaga kerja asing, memberikan pelayanan yang lebih cepat kepada “calo”, atau orang yang bersedia membayar lebih, ketimbang para pemohon yang biasa-biasa saja. Alasannya karena calo adalah orang yang bisa memberikan pendapatan tambahan. Dalam kasus ini, sulit dibuktikan tentang praktek korupsi, walaupun ada peraturan yang dilanggar. Terlebih lagi apabila dalih memberikan uang tambahan itu dibungkus dengan jargon “tanda ucapan terima kasih”, dan diserahkan setelah layanan diberikan.
2.      Illegal corruption, ialah suatu jenis tindakan yang bermaksud mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan dan regulasi tertentu. Contoh : di dalam peraturan lelang dinyatakan bahwa untuk pengadaan  barang jenis tertentu harus melalui proses pelelangan atau tender. Tetapi karena waktunya mendesak (karena turunnya anggaran terlambat), maka proses tender itu tidak dimungkinkan. Untuk itu pemimpin proyek mencari dasar hukum mana yang bisa mendukung atau memperkuat pelaksanaan pelelangan, sehingga tidak disahkan oleh inspektur. Dicarilah pasal-pasal dalam peraturan yang memungkinkan untuk bisa dipergunakan sebagai dasar hukum guna memperkuat sahnya pelaksanaan tender. Dari sekian banyak pasal, misalnya ditemukanlah suatu pasal yang  mengatur perihal “keadaan darurat” atau “force mayeur”. Dalam pasal ini dikatakan bahwa “dalam keadaan darurat, prosedur pelelangan atau tender dapat dikecualikan, dengan syarat harus memperoleh izin dari pejabat yang berkompeten”. Dari sinilah dimulainya illegal corruption, yakni ketika pemimpin proyek mengartikulasikan tentang keadaan darurat. Andaikata dalam pasal keadaan darurat tersebut ditemukan kalimat yang berbunyi “termasuk ke dalam keadaan darurat ialah suatu keadaan yang berada di luar kendali manusia”, maka dengan serta merta, pemimpin proyek bisa berdalih bahwa keterbatasan waktu adalah salah satu unsur yang berada diluar kendali manusia, yang bisa dipergunakan oleh pemimpin proyek meminta persetujuan kepada pejabat yang berkompeten. Dalam pelaksanaan proyek seperti kasus ini, sebenarnya bisa dinyatakan sah atau tidak sah, bergantung pada bagaimana para pihak menafsirkan peraturan yang berlaku. Bahkan dalam beberapa kasus, letak illegal corruption berada pada kecanggihan memainkan kata-kata; bukan substansinya.
3.      Mercenary corruption, ialah jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud untuk memperoleh keuntungan pribadi, melalui penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan. Contoh : dalam sebuah persaingan tender, seorang panitia lelang memiliki kewenangan untuk meluluskan peserta tender. Untuk itu, secara terselubung atau terang-terangan ia mengatakan bahwa untuk memenangkan tender, peserta harus bersedia memberikan uang “sogok” atau “semir” dalam jumlah tertentu. Jika permintaan ini dipenuhi oleh kontraktor yang mengikuti tender, maka perbuatan panitia lelang ini sudah termasuk ke dalam kategori mercenary corruption. Bentuk “sogok” atau “semir” itu tidak mutlak berupa uang, namun juga dalam bentuk lain.
4.      Ideological corruption, ialah jenis korupsi illegal maupun discretionary yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok. Contoh : kasus skandal Watergate adalah contoh ideological corruption, di mana sejumlah individu memberikan komitmen mereka kepada Presiden Nixon ketimbang kepada undang-undang atau hukum. Penjualan asset BUMN untuk mendukung pemenangan pemilihan umum dari partai politik tertentu adalah contoh dari jenis korupsi ini.[11]
Dalam pengertian pada Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh Wijowasito, corruptie yang juga disalin menjadi corruptien dalam bahasa Belanda mengandung arti perbuatan korup, penyuapan.[12] Kemudian pada pengertian dari korupsi secara harafiah menurut John M. Echols dan Hassan Shadily, yang berarti jahat atau busuk.[13]
                Sebagaimana telah penulis paparkan sebelumnya yaitu dalam The Lexion Webster Dictionary kata korupsi berarti; kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah, yang mana teks aslinya ialah sebagai berikut :
Corruption {L.corruptio(n-)} The act of corruption or the state of being corrupt; putrefactive decomposition, putrid rid matter; moral perversion; depravity, perversion of integrity; corrupt or dishonest proceedings, bribery; perversion from a state of purity; debasement as of a language; a debased from a word” (The Lexion 1978).
Artinya : Tindakan korupsi atau negara dikorup, dekomposisi yg menyebabkan perbusukan, busuk yang menyingkirkan, penyimpangan moral, kebejatan, penyimpangan integritas, proses korup atau tidak jujur​​, suap, penyimpangan dari keadaan kemurnian, kehinaan pada bahasa, sebuah direndahkan dari kata.
Pengertian korupsi menurut Gurnar Myrdal adalah :
To include not only all forms of improper or selfish exercise of power and influence attached to a public office or the special position one occupies in the public life but also the activity of the bribers”.
Artinya : “korupsi tersebut meliputi kegiatan-kegiatan yang tidak patut yang berkaitan dengan kekuasaan, aktivitas-aktivitas pemerintahan, atau usaha-usaha tertentu untuk memperoleh kedudukan secara tidak patut, serta kegiatan lainnya seperti penyogokan”.[14]
            Ada istilah lain disamping korupsi yang dikemukakan oleh Helbert Edelherz yang disebut white collar crime untuk perbuatan pidana korupsi. Perbuatan pidana korupsi disebutkan sebagai berikut :
White collar crime : an illegal act or service of illegal acts commited by nonphysical means and by concealment or guile, to obtain or property , to avoid the payment or loss of money or property, to obtain business or personal advantage”.                  
Artinya : “kejahatan kerah putih yaitu suatu perbuatan atau serentetan perbuatan yang bersifat illegal yang tidak dilakukan secara fisik, tetapi dengan akal bulus atau terselubung untuk mendapatkan uang atau kekayaan serta menghindari pembayaran atau pengeluaran uang atau kekayaan atau untuk mendapatkan bisnis atau keutungan pribadi”.[15]       
            Ada pula beberapa definisi Korupsi lain, yaitu :
Definisi korupsi menurut “Transparency International” adalah perilaku pejabat publik, baik politikus politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang di percayakan kepada mereka.
Dari sudut pandang hukum, korupsi mencakup unsur-unsur :
1.      Melanggar hukum
2.      Penyalahgunaan wewenang      
3.      Merugikan negara         
4.      Memperkaya pribadi / diri sendiri.
            Dalam arti luas korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk kepentingan pribadi.
            Semua bentuk pemerintah rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujuk korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harfiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Istilah korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia itu, disimpulkan oleh Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia : “korupsi ialah perbuatan buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.”
Korupsi menurut “Kamus Besar Bahasa Indonesia” sebagaimana yang telah dipaparkan pada pendahuluan yaitu penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan) untuk kepentingan pribadi atau orang lain.
Korupsi yang di definisikan oleh Economic Development Institute of The World Bank, “National Integrity System Country Studies” mengatakan sebagai berikut :
An abuse of entrusted power by politicians or civil servants for personal gain”, artinya : sebagai penyalahgunaan jabatan publik untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
Korupsi seperti disimpulkan dalam Encyclopedia Americana adalah suatu hal yang buruk dengan ragam artinya bervariasi menurut waktu tempat dan bangsa.
Korupsi adalah penawaran pemberian dan penerimaan hadiah-hadiah berupa suap (Corruption the Offering dan Accepting of Bribes), disamping diartikan juga “decay” yaitu kebusukan atau kerusakan.[16]
            Mubyarto (yang menyorot korupsi atau penyuapan dari segi politik dan ekonomi semata), mengutip pendapat Smith[17] yaitu sebagai berikut :
On the whole corruption appears in Indonesia appears to present more of a recurring political problem than an economic one. It undermines the legitimacy of the government  in the eye of the young, educated elite and most civil servant …. Corruption reduces support for the government among elites at the province and regency level“ (artinya : secara keseluruhan korupsi di Indonesia muncul lebih sering sebagai masalah politik daripada ekonomi. Ia menyentuh keabsahan legitimasi pemerintah di mata generasi muda, kaum elite terdidik dan pegawai pada umumnya …. Korupsi mengurangi dukungan pada pemerintah dari kelompok elit tingkat provinsi dan kabupaten).[18]
            Lebih tegas lagi apa yang dikemukakan oleh Gunnar Myrdal[19] sebagai berikut:
The problem is of vital concern to the government of South Asia, because the habitual practice of bribery and dishonesty pavers the way for an authoritarian regime which justifies itself by the disclousures of corruption has regularly been advance as a main justification for military take overs”. (Artinya : Masalah itu (korupsi), merupakan sesuatu yang penting bagi pemerintah di Asia Selatan karena kebiasaan melakukan penyuapan dan ketidakjujuran membuka jalan membongkar korupsi dan tindakan-tindakan penghukuman terhadap pelanggar. Pemberantasan korupsi biasanya dijadikan pembenar utama terhadap kup militer).
            Begitu pula yang dikatakan oleh Huntington berikut ini :
“Akan tetapi tidak berarti bahwa adanya pola korupsi di tingkat atas ini  mengganggu stabilitas politik, asal saja jalan-jalan untuk mobilitas ke atas melalui partai politik atau birokrasi tetap terbuka. Namun, jika pemain-pemain politik dari generasi muda melihat bahwa mereka akan dikesampingkan, tidak diberi kesempatan untuk menikmati hasil-hasil yang telah dicapai oleh generasi tua atau jika kolonel-kolonel dalam angkatan perang melihat tidak ada harapan untuk naik pangkat dan kesempatan yang ada hanya bagi para jenderal, sistem tersebut akan mudah digoncangkan oleh kekerasan. Dalam masyarakat seperti ini korupsi politik dan stabilitas politik, kedua-duanya tergantung pada mobilitas ke atas”.[20]         
Tentang titik tolak analisis ekonomi (pasar) mengenai korupsi, Mubyarto[21] mengutip definisi Clive Gray, dan memberi komentar :
“Dengan definisi korupsi demikian, sogokan, uang siluman, atau pungli lain merupakan “harga pasar” yang harus dibayar oleh konsumen yang ingin sekali “membeli” barang tertentu. Dan barang tertentu yang akan dibeli itu berupa keputusan, izin, atau secara lebih tagas, tanda tangan. Secara teoritis, harga pasar tanda tangan akan naik turun sesuai dengan turunnya permintaan dan penawaran, dan setiap kali akan terjadi “harga keseimbangan”. Karena dalam model ekonomi pasar juga ada pengertian “harga diskriminasi”, dalam pasaran tanda tangan pejabat juga ada kemungkinan perbedaan harga bagi golongan “ekonomi kuat” dan golongan “ekonomi lemah”.[22]
Di Indonesia jika orang berbicara mengenai korupsi, pasti yang dipikirkan hanya perbuatan jahat menyangkut keuangan negara dan suap. Pendekatan yang dapat dilakukan terhadap masalah korupsi bermacam ragamnya, dan artinya tetap sesuai walaupun kita mendekati masalah  itu, dari berbagai aspek. Pendekatan sosiologis misalnya, seperti halnya yang dilakukan oleh Syed Hussein Alatas dalam bukunya The Sociology of Corruption, akan lain artinya kalau kita melakukan pendekatan normatif; begitu pula dengan politik ataupun ekonomi, Misalnya Alatas memasukkan “nepotisme” dalam kelompok korupsi, dalam klasifikasinya (memasang keluarga atau teman pada posisi pemerintahan untuk itu), yang tentunya hal seperti itu sukar dicari normanya dalam hukum pidana.
Korupsi dilukiskan dengan berbagai variasi di berbagai negara, namun masih ada titik persamaannya secara umum. Di Malaysia terdapat juga peraturan anti korupsi, akan tetapi di Malaysia tidak digunakan kata “korupsi” melainkan dipakai kata “resuah” ditandai dengan nama komisinya “Badan Pencegah Rasuah” (BPR) yang tentunya berasal dari bahasa Arab “riswah” yang menurut Kamus Arab-Indonesia artinya uang suap, uang sogok.[23]
Korupsi dalam pandangan hukum Islam diantaranya yaitu :
1.      Sariqah, yaitu di definisikan sebagai “orang yang mengambil sesuatu secara sembunyi-sembunyi dari tempat yang dilarang mengambil dari tempat tersebut” atau pencuri. Jadi syaratnya harus ada unsur mengambil yang bukan haknya, secara sembunyi-sembunyi, dan juga mengambilnya pada tempat yang semestinya. Kalau ada barang ditaruh di tempat yang tidak semestinya untuk menaruh barang menurut beliau bukan termasuk kategori sariqah. Lalu bagaimana dengan pencurian uang negara, apakah hal tersebut diperbolehkan. Tentu jawabannya tidak boleh karena uang negara tersebut adalah untuk kesejahteraan umum.
2.      Ghulul, yaitu penyalahgunaan jabatan. Jabatan adalah amanah, oleh sebab itu, penyalahgunaan terhadap amanat hukumnya haram dan termasuk perbuatan tercela. Perbuatan ghulul misalnya menerima hadiah, komisi, atau apapun namanya yang tidak halal dan tidak semestinya dia terima.
3.      Riswah, (risywah) atau suap berarti “batu bulat yang jika dibungkamkan ke mulut seseorang, ia tidak akan mampu berbicara apapun”. Jadi suap bisa membungkam seseorang dari kebenaran. Suap bisa terjadi apabila unsur-unsurnya telah terpenuhi. Unsur-unsur suap meliputi, pertama, yang disuap (Al-Murtasyi); kedua, penyuap (Al-Rasyi); dan ketiga, suap (Al-Risywah). Suap dilarang dan sangat dibenci dalam Islam karena sebenarnya perbuatan tersebut (suap) termasuk perbuatan yang bathil.[24]
            Oleh karena itu, dapat ditarik suatu kesimpulkan bahwa sesungguhnya korupsi  itu sebagai suatu istilah yang bermakna sangat luas artinya.



1. Tindak Pidana Korupsi
Berdasarkan penjelasan atas bagian I Umum dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nation Convention Against Corruption yaitu :
“Tindak pidana korupsi merupakan ancaman terhadap prinsip-prinsip demokrasi, yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan iritegritas, serta keamanan dan stabilitas bangsa Indonesia. Oleh karena korupsi merupakan tindak pidana yang bersifat sistematik dan merugikan pembangunan berkelanjutan sehingga memerlukan langkah langkah pencegahan dan pemberantasan yang bersifat menyeluruh, sistematis, dan berkesinambungan baik pada tingkat nasional maupun tingkat intemasional. Dalam melaksanakan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang efisien dan efektif diperlukan dukungan manajemen tata pemerintahan yang baik dan kerja sama internasional, termasuk pengembalian aset-aset yang berasal dari tindak pidana korupsi”.
Di Belanda telah ada undang-undang (Wet van 23 1967, Stbl 565) yang mengancam pidana terhadap penyuapan yang diterima bukan oleh pegawai negeri (artikel 328 ter Ned. W.v.S).[25]  
Keberadaan tindak pidana korupsi dalam hukum positif Indonesia sebenarnya sudah ada sejak lama, yaitu sejak berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Stafrecht) sebagai salah satu kodifikasi dan unifikasi berlaku bagi semua golongan di Indonesia sesuai dengan asas konkordasi dan diundangkan dalam Staatblad 1915 Nomor 752, tanggal Oktober 1915.[26]
            Dalam Undang-Undang anti korupsi terkini khususnya dalam Pasal 1 angka 1 Bab Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 disebutkan tentang pengertian tindak pidana korupsi :
“Tidak Pidana Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.”[27] Ditambah lagi dengan tindak pidana korupsi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa : “setiap orang yang melanggar ketentuan undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini”.
            Kemudian pengertian tentang pemberantasan tindak pidana korupsi juga terdapat di dalam Pasal 1 angka 3 Bab Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 :    
“Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.[28]
            Mengenai pembatasan, dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, memberikan batasan tentang pengertian Tindak Pidana Korupsi dengan cakupan yang lebih luas sehingga meliputi berbagai tindakan termasuk tindakan ”penyuapan”, yang dapat dipahami dari bunyi teks pasal-pasalnya, kemudian mengelompokannya ke dalam beberapa rumusan delik.
            Pengertian menurut Undang-Undang diatas yaitu, setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
            Dengan memahami hal tersebut diharapkan segala tindakan hukum dalam rangka pemberantaan korupsi akan terwujud, baik dalam bentuk pencegahan (preventif) maupun tindakan (represif). Pemberantasan korupsi tidak hanya memberikan efek jera bagi pelaku, tetapi juga berfungsi sebagai daya tangkal.
2. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
            Mengenai Kolusi, Di dalam bidang studi ekonomi, kolusi terjadi di dalam satu bidang industri di saat beberapa perusahaan saingan bekerja sama untuk kepentingan mereka bersama. Kolusi paling sering terjadi dalam satu bentuk pasar oligopoli, di mana keputusan beberapa perusahaan untuk bekerja sama, dapat secara signifikan memengaruhi pasar secara keseluruhan. Kartel adalah kasus khusus dari kolusi berlebihan, yang juga dikenal sebagai kolusi tersembunyi.
Kolusi merupakan sikap dan perbuatan tidak jujur dengan membuat kesepakatan secara tersembunyi dalam melakukan kesepakatan perjanjian yang diwarnai dengan pemberian uang atau fasilitas tertentu sebagai pelicin agar segala urusannya menjadi lancar.
Di Indonesia, kolusi paling sering terjadi dalam proyek pengadaan barang dan jasa tertentu (umumnya dilakukan pemerintah). Ciri-ciri kolusi jenis ini adalah : Pemberian uang pelicin dari perusahaan tertentu kepada oknum pejabat atau pegawai pemerintahan agar perusahaan dapat memenangkan tender pengadaan barang dan jasa tertentu. Biasanya, imbalannya adalah perusahaan tersebut kembali ditunjuk untuk proyek berikutnya. Penggunaan broker (perantara) dalam pengadaan barang dan jasa tertentu. Padahal, seharusnya dapat dilaksanakan melalui mekanisme G 2 G (pemerintah ke pemerintah) atau G 2 P (pemerintah ke produsen), atau dengan kata lain secara langsung. Broker di sini biasanya adalah orang yang memiliki jabatan atau kerabatnya.
Jadi secara garis besar, kolusi adalah pemufakatan secara bersama untuk melawan hukum antar penyelenggara negara atau antara penyelenggara dengan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan Negara.
      Cara pencegahannya perusahaan (atau negara) membuat perjanjian kerjasama yang sehat dengan perusahaan (atau negara) lain yang dianggap tidak merugikan orang banyak untuk mencegah kolusi.[29]
      Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; Kolusi adalah permufakatan atau kerjasama secara melawan hukum antar-Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan atau negara.
Sedangkan Nepotisme, yakni berarti lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya. Kata ini biasanya digunakan dalam konteks derogatori. Sebagai contoh, kalau seorang manajer mengangkat atau menaikan jabatan seorang saudara, bukannya seseorang yang lebih berkualifikasi namun bukan saudara, manajer tersebut akan bersalah karena nepotisme. Pakar-pakar biologi telah mengisyaratkan bahwa tendensi terhadap nepotisme adalah berdasarkan naluri, sebagai salah satu bentuk dari pemilihan saudara.
Kata nepotisme berasal dari kata latin nepos, yang berarti "keponakan" atau "cucu". Pada Abad Pertengahan beberapa paus Katolik dan uskup yang telah mengambil janji "chastity", sehingga biasanya tidak mempunyai anak kandung  memberikan kedudukan khusus kepada keponakannya seolah-olah seperti kepada anaknya sendiri. Beberapa paus diketahui mengangkat keponakan dan saudara lainnya menjadi kardinal. Seringkali, penunjukan tersebut digunakan untuk melanjutkan "dinasti" kepausan. Contohnya, Paus Kallistus III, dari keluarga Borja, mengangkat dua keponakannya menjadi kardinal; salah satunya, Rodrigo, kemudian menggunakan posisinya kardinalnya sebagai batu loncatan ke posisi paus, menjadi Paus Aleksander VI. Kebetulan, Alexander mengangkat Alessandro Farnese, adik kekasih gelapnya, menjadi kardinal; Farnese kemudian menjadi Paus Paulus III. Paul juga melakukan nepotisme, dengan menunjuk dua keponakannya (umur 14 tahun dan 16 tahun) sebagai Kardinal. Praktek seperti ini akhirnya diakhiri oleh Paus Innosensius XII yang mengeluarkan bulla kepausan Romanum decet pontificem pada tahun 1692. Bulla kepausan ini melarang semua paus di seluruh masa untuk mewariskan tanah milik, kantor, atau pendapatan kepada saudara, dengan pengecualian bahwa seseorang saudara yang paling bermutu dapat dijadikan seorang Kardinal.
Di Indonesia, tuduhan adanya nepotisme bersama dengan korupsi dan kolusi (ketiganya disingkat menjadi KKN) dalam pemerintahan Orde Baru, dijadikan sebagai salah satu pemicu gerakan reformasi yang mengakhiri kekuasaan presiden Soeharto pada tahun 1998.[30]
Salah satu bentuk umum korupsi organisasi di negara barat yang demokrasi muncul ketika “koalisi dominan” lembaga negara (Sherman 1998) menggunakan sumber daya-sumber daya lembaga untuk terus melanjutkan kepentingan politik mereka dengan cara yang illegal, termasuk individu-individu yang memiliki kekuatan yang efektif untuk menentukan tujuan organisasi.[31]
B. Landasan Hukum dari KPK
            Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai instansi yang berwenang memberantas tindak pidana korupsi, diatur dalam beberapa hukum positif, diantaranya yaitu :
1. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
            Pasal 2 angka 6 huruf a, yaitu :
            “Arah kebijakan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah        membentuk Undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya untuk         membantu percepatan dan efektivitas pelaksanaan pemberantasan dan             pencegahan korupsi yang muatannya meliputi Komisi Pemberantasan Tindak          Pidana Korupsi”.[32]
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
            Pasal 43 ayat 1 :
            “Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini mulai            berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”.[33]
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
            Pasal 2, yaitu :
            “Dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 dibentuk Komisi             Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut Komisi      Pemberantasan Korupsi”.



C. Kedudukan dan Kewenangan KPK
1. Kedudukan KPK
Seiring berjalannya reformasi, di Indonesia muncul berbagai macam perubahan dalam sistem ketatanegaraan, khususnya perubahan pada konstitusi Negara Indonesia. Salah satu hasil dari perubahan konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Negara RI Tahun 1945) adalah beralihnya supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi supremasi konstitusi. Akibatnya, MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara karena semua lembaga negara didudukkan sederajat dalam mekanisme checks and balances. Sementara itu, konstitusi diposisikan sebagai hukum tertinggi yang mengatur dan membatasi kekuasaan lembaga-lembaga negara. Perkembangan konsep trias politica juga turut memengaruhi perubahan struktur kelembagaan di Indonesia.
Di banyak negara, konsep klasik mengenai pemisahan kekuasaan tersebut dianggap tidak lagi relevan karena tiga fungsi kekuasaan yang ada tidak mampu menanggung beban negara dalam menyelenggarakan pemerintahan. Untuk menjawab tuntutan tersebut, negara membentuk jenis lembaga negara baru yang diharapkan dapat lebih responsif dalam mengatasi persoalan aktual negara. Maka, berdirilah berbagai lembaga negara yang membantu tugas lembaga-lembaga negara tersebut yang menurut Prof. Dr Jimly Asshidiqie, SH disebut sebagai “Lembaga Negara Bantu” dalam bentuk dewan, komisi, komite, badan, ataupun otorita, dengan masing-masing tugas dan wewenangnya. Beberapa ahli tetap mengelompokkan lembaga negara bantu dalam lingkup eksekutif, namun ada pula sarjana yang menempatkannya tersendiri sebagai cabang keempat kekuasaan pemerintahan.
Dalam konteks Indonesia, kehadiran lembaga negara bantu menjamur pasca perubahan UUD Negara RI Tahun 1945. Berbagai lembaga negara bantu tersebut tidak dibentuk dengan dasar hukum yang seragam. Beberapa di antaranya berdiri atas amanat konstitusi, namun ada pula yang memperoleh legitimasi berdasarkan undang-undang ataupun keputusan presiden.
Salah satu lembaga negara bantu yang dibentuk dengan undang-undang adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Walaupun bersifat independen dan bebas dari kekuasaan manapun, KPK tetap bergantung kepada kekuasaan eksekutif dalam kaitan dengan masalah keorganisasian, dan memiliki hubungan khusus dengan kekuasaan yudikatif dalam hal penuntutan dan persidangan perkara tindak pidana korupsi. Kedepannya, kedudukan lembaga negara bantu seperti KPK membutuhkan legitimasi hukum yang lebih kuat dan lebih tegas serta dukungan yang lebih besar dari masyarakat.[35]
                Untuk tempat kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi ditentukan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, sebagai berikut :
1)      Komisi Pemberantasan Korupsi berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia dan wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
2)      Komisi Pemberantasan Korupsi dapat membentuk perwakilan di daerah provinsi.
                Sedangkan kedudukan KPK dalam sistem ketatanegaraan Negara Republik Indonesia adalah sebagai lembaga negara bantu (Auxilary State Organ) non-pemerintah yang bekerja secara independen.
2. Kewenangan KPK
Kewenangan-kewenangan yang dimiliki Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana diamanatkan di dalam pasal 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, dan 14 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yaitu :
            Pasal 7
            Dalam melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6          huruf a, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang :
            a. mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak      pidana korupsi;
            b. menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana        korupsi;
            c. meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi           kepada instansi yang terkait;
            d. melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang      berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
            e. meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana       korupsi.
            Pasal 8
            (1) Dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal          6 huruf b, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan          pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan    tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana        korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik.
            (2) Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang juga mengambil alih penyidikan   atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan        oleh kepolisian atau kejaksaan.
            (3) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih penyidikan   atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan             seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan       dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal           diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi.
            (4) Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan       membuat dan menandatangani berita acara penyerahan sehingga segala tugas           dan kewenangan kepolisian atau kejaksaan pada saat penyerahan tersebut    beralih kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.
            Pasal 9
            Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam            Pasal 8, dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan :
            a. laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti;
            b. proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau          tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;
            c. penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku     tindak pidana korupsi yang sesungguhnya;
            d. penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;
            e. hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau
            f. keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan,         penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat        dipertanggungjawabkan.
            Pasal 10
            Dalam hal terdapat alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Komisi    Pemberantasan Korupsi memberitahukan kepada penyidik atau penuntut       umum untuk mengambil alih tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.
            Pasal 11
            Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang :
            a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain             yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat     penegak hukum atau penyelenggara negara;
            b. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
            c. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 (satu    milyar rupiah).
            Pasal 12
            (1) Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan   sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi        berwenang :
            a. melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;
            b. memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang    bepergian ke luar negeri;
            c. meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang           keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa;
            d. memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk         memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait;
            e. memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk      memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya;
            f. meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa      kepada instansi yang terkait;
            g. menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan,         dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta             konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang            diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak          pidana korupsi yang sedang diperiksa;
            h. meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara            lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di        luar negeri;
            i. meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan         penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak             pidana korupsi yang sedang ditangani.
            Pasal 13
            Dalam melaksanakan tugas pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6        huruf d, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melaksanakan langkah   atau upaya pencegahan sebagai berikut :
            a. melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan          penyelenggara negara;
            b. menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi;
            c. menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang   pendidikan;
            d. merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi       pemberantasan tindak pidana korupsi;
            e. melakukan kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum;
            f. melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan      tindak pidana korupsi.
            Pasal 14
            Dalam melaksanakan tugas monitor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang :
            a. melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi di semua           lembaga negara dan pemerintah;
            b. memberi saran kepada pimpinan lembaga negara dan pemerintah untuk   melakukan perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian, sistem pengelolaan      administrasi tersebut berpotensi korupsi;
            c. melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan      Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan, jika saran          Komisi Pemberantasan Korupsi mengenai usulan perubahan tersebut tidak    diindahkan.
            Sebagai institusi penegak hukum dalam sistem ketatanegaraan yang baru, KPK memiliki sarana dan prasarana hukum dengan tingkat kewenangan sangat luar biasa atau extra ordinary power yang tidak dimiliki oleh institusi lainnya. Karena itu, menjadi wajar apabila masyarakat memiliki harapan berlebihan searah dengan kewenangan yang sangat luar biasa dari KPK tersebut. Dengan extra ordinary power yang dimiliki KPK, diharapkan pula, segala bentuk, cara dan aplikasi korupsi dapat dijadikan suatu bahagian tatanan pemberantasan korupsi.[36]  
D. Mekanisme Kerja KPK
            KPK memiliki mekanisme kerja atau tata kerja sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yaitu berdasarkan Undang-Undang dan Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi, yang mana dijelaskan :
            Pasal 61 :
Dalam melaksanakan tugasnya setiap pimpinan unit wajib menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi, baik dalam lingkungan masing-masing maupun antar satuan organisasi dalam KPK, serta  dengan instansi lain di luar KPK sesuai tugas masing-masing”.
Pasal 62 :
“Setiap pimpinan satuan organisasi wajib mengawasi bawahan masing-masing dan bila terjadi penyimpangan agar mengambil  langkah-langkah yang diperlukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”



Pasal 63 :
“Setiap pimpinan satuan organisasi dalam lingkungan KPK bertanggung jawab memimpin dan mengkoordinasikan bawahan masing-masing dan memberikan bimbingan serta petunjuk bagi pelaksanaan tugas bawahan”.
Pasal 64 :
“Dalam melaksanakan tugasnya, setiap pimpinan satuan organisasi dibantu oleh pimpinan satuan organisasi di bawahnya, dan dalam rangka pemberian bimbingan kepada bawahan masing-masing wajib mengadakan rapat berkala”.
Pasal 65 :
“Setiap pimpinan satuan organisasi wajib mengikuti dan mematuhi petunjuk dan bertanggung jawab kepada atasan masing-masing, menyusun dan menyampaikan laporan berkala tepat waktu”.
Pasal 66 :
“Setiap laporan yang diterima oleh pimpinan  satuan organisasi dari bawahan, wajib diolah dan dipergunakan sebagai bahan untuk penyusunan laporan lebih lanjut”.
Pasal 67 :
“Dalam menyampaikan laporan kepada atasan, tembusan laporan wajib disampaikan kepada satuan-satuan organisasi lainnya yang secara fungsional mempunyai hubungan kerja”.[37]
            Ketentuan mengenai prosedur tata kerja Komisi Pemberantasan Korupsi diatur lebih lanjut dengan Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi.[38] Sedangkan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja dan pertanggungjawaban, tugas dan wewenang serta keanggotaannya diatur dengan Undang-undang.[39]
            Melihat kewenangan KPK, maka tidak heran kalau kalangan hukum menyebutnya sebagai lembaga super (superbody). Disamping itu, peranan KPK melebihi dari Kepolisian dan Kejaksaan dimana Kepolisian dan Kejaksaan dapat mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan dan Penuntutan (SPPP) dalam perkara tindak pidana korupsi, sebaliknya berdasarkan Pasal 40 UU Nomor 30 Tahun 2002, KPK tidak berwenang mengeluarkan SPP untuk menghindari adanya main mata antara tersangka dan aparat KPK. Dengan kewenangan yang super tersebut KPK mampu mengeliminasi korupsi secara konseptual dan sistematis. Masyarakat tidak mau tahu akan keluh kesah KPK bekait dengan kurangya personil maupun kesendirian KPK dalam menangani tindak pidana korupsi.[40]
            Dari kewenangan dan mekanisme kerja diatas, maka dapat kita cermati bahwa KPK sebagai lembaga yang terbilang baru ini adalah satu-satunya lembaga yang masih dipercaya masyarakat dalam memberantas korupsi. Oleh karena itu, meskipun kewenangannya sangat besar, patutlah semua pihak terus mendukung KPK guna tercapainya negara Indonesia yang bebas korupsi.   



                [1] Ermansjah Djaja. Tipologi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. (Jakarta : Mandar Maju, 2010), h. 19

                [2] Andi Hamzah, Op.Cit,  h. 5

                [3] The Advanced Learner’s Dictionary of Current English, p. 218

                [4] Baharuddin Lopa, Kejahatan Korupsi dan Pengakan Hukum, (Jakarta : Kompas, 2001), h.67
                [5] Kamus Hukum Fockema Andreae, (Bandung : Bina Cipta, 1983)

                [6] Andi Hamzah, Op.Cit, h. 4

                [7] Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2001)

                [8] Dani Krisnawati dkk, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, (Jakarta. : Penerbit Pena Pundi Aksara, 2006), h. 31

                [9] Andi Hamzah, Ibid, h. 32

                [10] Suyatno. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2005),  h. 17
                [11] Ibid, h. 17-18

                [12] Wijowasito, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : PT. Ikhtiar Baru, 1999),  h. 128

                [13] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta : PT. Gramedia               Pustaka Utama, 1977), h. 149

                [14] Gurnar Myrdal, Asia Drama, Volume II, (New York : Pantheon, 1968), h. 973

          [15] Herbert Edelherz, The Investigation of White Collar Crime, A Manual for Law Enforcement Agencies, (US Depetment of Justice : Office of Regional Operations, Law Enforcement Assistance Administration, 1977),  h. 4

                [16] Albert Sidney Hornby cs. The Advenced Learner’s Dictionary of Current English, (London : Oxford University Press, 1963), h. 218

                [17] Theodore McRoberts Smith, Corruption Tradition dan Charge, No.11. (Indonesia : Cornell University,1971)

                [18] Mubyarto, Ilmu Ekonomi, Ilmu Sosial dan Keadilan . (Jakarta : Yayasan Argo Ekonomika, 1980), h. 60

                [19] Gunnar Myrdal. Asian Drama, an Inquiry into the Poverty of Nations . New York : Penguin Books Australia Ltd., 1977), h. 166 

                [20] Samuel Phillips Huntington. “Modernisasi dan Korupsi,” dalam Mochtar Lubis dan James C. Scott, Bunga Rampai Karangan-karangan Mengenai Etika Pegawai Negeri . (Jakarta : Bhratara Karya Aksara, 1977), h. 133

                [21] Mubyarto, op.cit., h. 65

                [22] Gray, Clive. “Civil Service Compensation in Indonesia”; “BIES, Vol. XV, No.1, (March 1979)
                [23] Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta : Hidakarya Agung, 1989), h.142

                [24]Korupsi dan Pemberantasannya Dalam Perspektif Hukum Islam”. Artikel diakses pada 13 Januari dari http://muhsinhar.staff.umy.ac.id/korupsi-dan-pemberantasannya-dalam-perspektif-hukum-islam-studi-kasus-indonesia/

                [25] Andi Hamzah, Loc. Cit, h. 5

                [26] Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK, (Balikpapan : Sinar Grafika, 2008), h. 8

                [27] Ibid, h. 433

                [28] Ibid
                [29].“Korupsi”. Artikel diakses pada 17 November 2012 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Kolusi
                [30]. “Nepotisme”. Artikel diakses pada 17 November 2012 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Nepotisme

                [31]. Penny Green,  Kejahatan Negara, Pemerintah, Kekerasan dan Korupsi, (Jakarta : Komnas HAM, 2009), h. 24

                [32]. Op.Cit, h. 11

                [33]. Ibid, hlm. 409
                [34]. ”Komisi Pemberantasan Korupsi”. Artikel diakses pada 17 November 2012 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Pemberantasan_Korupsi#Dasar_hukum_KPK

                [35]. “Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia”. Artikel diakses pada 27 November 2012dari  http://eprints.undip.ac.id/8567/

                [36] Indriyanto Seno Aji , Korupsi dan Penegakan Hukum, (Jakarta : Diadit Media, 2009), h. 332
                [37] Keputusan Pimpinan KPK Indonesia Nomor KEP-07/P.KPK/2004 Tahun 2004 Tentang Organisasi dan Tata Kerja KPK, Bab X

                [38] Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 25 ayat 2

                [39] Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, I.Umum

                [40]  “Tinjauan Yuridis Mengenai Peranan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia”. Artikel diakses pada 22 Januari 2013 dari http://padmimonang.wordpress.com/2012/10/16/tinjauan-yuridis-mengenai-peranan-komisi-pemberantasan-korupsi-kpk-dalam-pemberantasan-tindak-pidana-korupsi-di-indonesia/



Tidak ada komentar:

Posting Komentar