Resume Hukum Internasional
“Hukum Laut”
(Dari buku yang ditulis oleh Dr. Boer Mauna)
Oleh : Benu Pangestu
NIM :
108048000020
Dosen: H. Damanhuri Mustafa, SH
Fakultas Syari’ah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2009
---
Hukum Laut
Dewasa ini menonjolnya hukum laut
bukan saja karena 70% atau 140 juta mil persegi permukaan bumi terdiri dari
laut, bukan saja karena laut sebagai penghubung suatu bangsa dengan
bangsa lain ke seluruh pelosok dunia untuk segala macam kegiatan, bukan saja
karena segala jenis ikan, tapi juga karena adanya kekayaan mineral di dasar laut itu sendiri.
Definisi
Laut adalah keseluruhan rangkaian
air asin yang menggenangi permukaan bumi. Definisi ini hanya bersifat fisik
semata. Laut menurut definisi hukum adalah keseluruhan air laut yang
berhubungan secara bebas di seluruh permukaan bumi . Jadi, laut mati , Laut
Kaspia, and the Great Salt Lake yang terdapat di Amerika Serikat dari segi
hukum tidak dapat dikatakan laut karena laut-laut tersebut tertutup dan tidak
mempunyai hubungan dengan bagian-bagian laut lainnya di dunia, walaupun airnya
asin dan menggenangi lebih dari satu negara pantai seperti halnya dengan Laut
Kaspia.
Pentinganya
Hukum Laut
Pentingnya laut dalam hubungan
antarbangsa menyebabkan pentingnya pula arti hukum laut internasional. Tujuan
hukum ini adalah untuk mengatur kegunaan rangkap dari laut, yaitu sebagai jalan raya dan sebagai
sumber kekayaan serta sebagai sumber tenaga. Karena laut hanya dapat
dimanfaatkan dengan kendaraan –kendaraan khusus , yaitu kapal-kapal tersebut.
Di samping itu, hukum laut juga harus mengatur kompetisi antara negara-negara
dalam mencari dan menggunakan kekayaan yang diberikan laut, terutama sekali
antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang.
Sumber-sumber
Hukum Laut
Sampai pada tahun 1958,
ketentuan-ketentuan umum mengenai laut terutama didasarkan atas hukum kebiasaan
. Ada beberapa konvensi yang mengatur hal-hal khusus yaitu :
-
Konvensi Menyelamatkan
Jiwa Manusia di Laut, 20 januari 1914
-
Konvensi Bruxelles, 10
mei 1952 mengenai Tabrakan Kapal-kapal di laut.
Kodifikasi
1958
Tahun 1958 merupakan
tahap penting dan bersejarah bagi perkembangan hukum laut internasional karena
di tahun itu PBB menyelenggarakan suatu Konferensi Hukum Laut di Jenewa dari 24
Februari sampai dengan 29 April 1958 dengan nama Konferensi PPBB I tentang
Hukum Laut dan dihadiri 86 negara.
A.
Konferensi PBB III Tentang Hukum Laut
Konvensi PBB tentang Hukum Laut yang
diterima Konfederasi Hukum Laut III pada tanggal 30 April 1982 pada sidangnya
yang ke-11 di New York untuk ditandatangani
mulai tanggal 10 Desember tahun yang sama di Montego Bay, Jamaica,
merupakan karya hukum masyarakat internasional yang terbesar di abad
ke-20. Konferensi ini bukan saja yang
terbesar, terpanjang, tetapi juga terpenting dalam sejarah konfederasi
internasional, sepanjang yang diketahui, dimana dimulai sejak desember 1973.
Hal ini juga merupakan keberhasilan
Indonesia karena rancangan itu berisikan satu bab khusus mengenai negara kepulauan (Pasal 46 – 54) yang telah
diperjuangkan dengan segala jerih payah selama seperempat abad.
Kemenangan ini merupakan kemenangan
bagi seluruh masyarakat internasional karena telah berhasil mengakomodasikan
berbagai macam kepentingan antara negara-negara maju dan negara-negara
berkembang; antara berbagai kelompok negara seperti antara negara-negara pantai
dan tak berpantai.
B.
Laut Lepas
Sudah
merupakan suatu ketentuan yang berasal dari hukum kebiasaan bahwa permukaan
laut dibagi atas beberapa zona dan yang paling jauh dari pantai dinamakan laut
lepas. Sedangkan Pasal 86 konvensi PBB tentang Hukum Laut menyatakan bahwa Laut lepas merupakan semua bagian dari laut
yang tidak termasuk dalam zona ekonomi eksklusif, dalam laut territorial atau
dalam perairan pedalaman suatu negara, atau dalam perairan kepulauan suatu
negara kepulauan.
Penelitian mengenai laut lepas
dibagi atas tiga bagian, yaitu :
b.1.
Prinsip kebebasan di laut lepas
b.2.
Status hukum kapal-kapal di laut lepas
b.3.
Pengawasan-pengawasan di laut lepas.
Pengawasan di laut lepas terdiri
dari dua macam, yaitu :
1.
Pengawasan
umum
Pengawasan
umum ini terdiri dari pengawasan biasa, inspeksi dan bahkan tindakan kekerasan
yang bertujuan untuk menjamin keamanan umum lalu lintas laut. Sehingga
berdasarkan wewenang absolut suatu negara bendera, maka kapal-kapal publik
hanya tunduk pada kapal-kapal perang negaranya. Sebaliknya, kapal-kapal perang
semua negara mempunyai wewenang terhadap kapal-kapal swasta negara-negara lain.
2.
Pengawasan
khusus
Pengawasan-pengawasan
khusus ini ada bermacam-macam :
2.a. Pemberantasan
Perdagangan Budak Belian
2.b. Pemberantasan Bajak
Laut
C.
Landas Kontinen
Landas
kontinen merupakan konsepsi yang relatif baru dalam hukum laut internasional.
Pada hakekatnya rezim landas kontinen lahit melalui pernyataan-pernyataan
unilateral dan kadang-kadang melalui jalan konvensional. Selanjutnya Konferensi
Jenewa 1958 membuat ketentuan-ketentuan mengenai dasar laut tersebut yang
kemudian disempurnakan dalam konvensi.
Konvensi mengenai Landas Kontinen
berhasil untuk menentukan secara umum, rezim yang sama mengenai landas
kontinen. Konvensi yang berisikan 15 pasal tersebut memulai berlaku 10 Juni
1964 setelah ratifikasi ke-22 oleh Inggris.
Landas Kontinen dari Segi Hukum
Kekayaan-kekayaan
mineral di landas kontinenlah yang menyebabkan hukum menjadi tertarik terhaap
persoalannya. Siapa yang dapat memiliki landas kontinen tersebut? Siapa saja yang berhak mengeksploitir
kekayaan-kekayaan alamnya dan mengambil tindakan-tindakan untuk melindungi
kekayaan-kekayaan mineral tersebut? Untuk bagian landas kontinen yang terletak
di bawah laut wilayah suatu negara pantai tak ada persoalan karena rezim landas
kontinen tersebut mengikuti rezim laut wilayah yang terdapat di atasnya yaitu
tunduk sepenuhnya pada negara pantai.
Dalam hal ini hukum internasional
positif telah berhasil menerima suatu solusi kompromi yang boleh disebut
menguntungkan negara-negara pantai. Ketentuan-ketentuan pokok yang menjadi
dasar kompromi ini berasal dari empat sumber yaitu : preseden sebagai hasil
praktek negara-negara sebelum tahun 1958,
Konvensi Jenewa 1958 tentang Landas Kontinen yang menerima keseluruhan
praktek tersebut, praktek-praktek dan yurisprudensi sesudah tahun 1958 dan
akhirnya ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Konvensi.
D.
Zona Ekonomi Eksklusif
Zona
Ekonomi Eklusif adalah zona yang luasnya 200 mil dari garis dasar pantai, yang
mana dalam zona tersebut sebuah negara pantai mempunyai hak atas kekayaan alam
di dalamnya, dan berhak menggunakan kebijakan hukumnya, kebebasan bernavigasi,
terbang di atasnya, ataupun melakukan penanaman kabel dan pipa. Konsep dari ZEE
muncul dari kebutuhan yang mendesak. Sementara akar sejarahnya berdasarkan pada
kebutuhan yang berkembang semenjak tahun 1945 untuk memperluas batas jurisdiksi
negara pantai atas lautnya, sumbernya mengacu pada persiapan untuk UNCLOS III.
Batas
luar
Batas dalam ZEE adalah batas luar dari laut
teritorial. Zona batas luas tidak boleh melebihi kelautan 200 mil dari garis
dasar dimana luas pantai teritorial telah ditentukan. Kata-kata dalam ketentuan
ini menyarankan bahwa 200 mil adalah batas maksimum dari ZEE, sehingga jika ada
suatu negara pantai yang menginginkan wilayahnya ZEE-nya kurang dari itu,
negara itu dapat mengajukannya. Di banyak daerah tentu saja negara-negara pantai
tidak akan memilih mengurangi wilayahnya ZEE kurang dari 200 mil, karena
kehadiran wilayah ZEE negara tetangga. Kemudian timbul pertanyaan mengapa luas
200 mil menjadi pilihan maksimum untuk ZEE. Alasannya adalah berdasarkan
sejarah dan politik: 200 mil tidak memiliki geografis umum, ekologis, dan
biologis nyata. Pada awal UNCLOS zona yang paling banyak diklaim oleh negara
pantai adalah 200 mil, diklaim negara-negara Amerika Latin dan Afrika. Lalu
untuk mempermudah persetujuan penentuan batas luar ZEE maka dipilihlah figur
yang paling banyak mewakili klaim yang telah ada. Tetapi tetap mengapa batas
200 mil dipilih sebagai batas luar jadi pertanyaan.
Batasan
Dalam
banyak wilayah negara banyak yang tidak bisa mengklaim 200 mil penuh, karena
kehadiran negara tetangga, dan itu menjadikan perlu menetapkan batasan ZEE dari
negara-negara tetangga, pembatasan ini diatur dalam hukum laut internasional.
Pulau-pulau
Pada dasarnya semua teritori pulau bisa menjadi ZEE.
Namun, ada 3 kualifikasi yang harus dibuat untuk pernyataan ini. Pertama, walau
pulau-pulau normalnya bisa menjadi ZEE, artikel 121(3) dari Konvensi Hukum Laut
mengatakan bahwa, " batu-batu yang tidak dapat membawa keuntungan dalam
kehidupan manusia atau kehidupan ekonomi mereka, tidak boleh menjadi ZEE."
Wilayah yang tidak berdiri sendiri
Kualifikasi kedua berkaitan dengan wilayah yang
tidak meraih baik kemerdekaan sendiri atau pemerintahan mandiri lain yang
statusnya dikenal PBB, dan pada wilayah yang berada dalam dominasi kolonial.
Resolusi III, diadopsi oleh UNCLOS III pada saat yang sama pada teks Konvensi,
menyatakan bahwa dalam kasus tersebut ketentuan yang berkaitan dengan hak dan
kewajiban berdasarkan Konvensi harus diimplementasikan untuk keuntungan
masyarakat wilayah tersebut, dengan pandangan untuk mempromosikan keamanan dan
perkembangan mereka.
E.
Laut Wilayah
Menurut sistim hukum
laut tradisional, permukaan laut secara horizontal dibagi atas beberapa zona
dan yang paling dekat dari pantai dinamakan laut wilayah yang sepenuhnya tunduk
pada kedaulatan negara pantai. Jadi laut wilayah ialah bagian yang paling dekat
dari pantai yang pada umumnya dianggap sebagai lanjutan dari daratannya dan
diatas mana negara pantai tersebut mempunyai kedaulatan.
Dalam hukum laut
internasional selain menentukan jarak laut yang dapat diklaim oleh suatu
Negara. Juga diperlukan dari mana atau metode apa yang dapat digunakan untuk
melakukan penarikan garis pangkal. Untuk mengetahui awal munculnya metode
penarikan itu, maka perlu diuraikan sengketa perikanan antara Norwegia dan
Inggris yang dikenal dengan Anglo
Norwegian Fisheries Case.
Perkara antara Inggris dan Norwegia
mengenai batas perikanan Norwegia ini timbul karena Inggris menggugat sahnya
penetapan batas perikanan eksklusif yang ditetapkan oleh Norwegia dalam firman
Raja (Royal Decree) tahun 1935 menurut hukum internasional. Yang digugat oleh
Inggris bukan lebar jaur wilayah Norwegia sebesar 4 mil, akan tetapi cara
penarikan garis pangkal yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis
pangkal yang menghubungkan pada pantai Norwegia. Dalam cara penarikan garis pangkal
lurus yang dilakukan Norwegia ini deretan pulau di muka pantai (skjaergaard)
dianggap sebagai bagaian dari pantai Norwegia.
Akibat ketidaksepakatan Negara
Inggris terhadap penarikan garis pangkal lurus tersebut sebagaimana Firman raja
Royal tahun 1935, maka dibawalah perkara ini ke Mahkamah Internasional (ICJ).
Mahkamah internasional dalam keputusannya menyatakan tidak sependapat dengan
pihak Inggris bahwa penarikan garis pangkal lurus oleh Norwegia hanya dapat
dibenarkan sebagai suatu pengecualian. Cara penarikan garis pangkal lurus oleh
Norwgia tidak lain daripada suatu penetrapan dari pada (suatu kaidah) hukum
internasional yang berlaku umum pada suatu keadaan khusus.
Berdasarkan kasus tersebut di atas
maka dapat diurai tiga macam cara penarikan garis pangkal yang didasarkan atas
azas pasang surut yakni: (1) cara “trace paralle” di mana garis batas luar
mengikuti segala liku dari pada garis pasang surut; (2) cara “arcs of circles”
dimana langsung ditetapkan batas luar tanpa adanya garis pangkal terlebih
dahulu. Dan (3) cara “straight base line”, dimana garis pangkal ditarik tidak
tepat menurut garis pasang surut dengan segala likunya, melainkan ditarik
garis-garis lurus yang menghubungkan titik-titik tertentu yang berada pada
garis pasang surut.
F.
Konsepsi Negara Kepulauan
Lahirnya
konsepsi negara kepulauan
Ketentuan-ketentuan baru ini pada
mulanya dikeluarkan dalam bentuk Pengumuman Pemerintah tanggal 13 Desember
1957, yang kemudian dikenal dengan nama Deklarasi Djuanda yang isinya sebagai berikut
:
Bahwa
segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau
bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia dangan tidak
memandang luas atau lebarnya adalah
bagian-bagian yang wajar dari pada wilayah daratan negara Republik Indonesia
dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada dibawah
kedaulatan mutlak dari Negara Republik Indonesia.
Pemerintah Republik
Indonesia menyadari bahwa ordonansi kelautan tahun 1939 sangat tidak cocok bagi
Negara kelautan seperti Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah Republik
Indonesia berusaha memperjuangkan konsep baru tentang kelautan di Indonesia
yang akan lebih menguntungkan Republik Indonesia.
Deklarasi
djuanda menetapkan luas laut territorial Indonesia sejauh 12 mil laut yang
diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik yang terluar dari garis-garis
terluar milik Negara Indonesia. Dengan jarak 12 mil laut dan cara pengukuran
seperti itu, maka batas laut territorial Indonesia saling bersambungan dan
menciptakan satu keutuhan wilayah. Wilayah Indonesia menjadi utuh. Sebagai
keuntungannya, tidak terdapat lagi laut bebas atau laut internasional diantara
pulau-pulau di Indonesia.
Pernyataan
pemerintah atau Deklarasi Djuanda dalam menetapkan batas perairan nasional
mempergunakan konsep Negara kepulauan (archipelagi principle) atau dikenal pula
dengan nama konsep wawasan nusantara. Konsep Negara kepualauan menegaskan bahwa
suatu Negara kepualaun merupakan satu kesatuan utuh wilayah, yang
batas-batasnya ditentukan oleh laut dalam suatu lingkungan yang terdapat
pulau-pulau dan gugusan pulau-pulau.
Dengan menggunakan konsep Negara
kepulauan sesuai dengan deklarasi Djuanda jelas akan lebih menguntungkan
Indonesia. Laut bukan lagi sebagai pemisah namun sebagai pemersatu. Laut
Indonesia pun menjadi bertambah luas dan kekayaan alam pun bertambah, Negara
Indonesia juga dapat menciptakan kesatuan dan keutuhan wilayahnya.
G.
Kawasan Dasar Laut Internasional
Persoalan penentuan
kawasan dasar laut internasional ini mulai timbul pada tanggal 1 November 1967
di Majelis Umum PBB, di mana Arvid Pardo, Duta Besar Malta, melancarkan gagasan
agar daerah dasar laut di luar yurisdiksi nasional dinyatakan sebagai common heritage of mankind (warisan
bersama umat manusia). Ini berarti bahwa daerah dasar laut itu hanya dapat
digunakan untuk tujuan-tujuan damai dan kekayaan-kekayaan yang terdapat di
dasar laut tersebut harus digunakan untuk seluruh kepentingan umat manusia.
H.
Penyelesaian Sengketa Menurut Konvensi Hukum Laut 1982
Penyelesaian
sengketa dalam bidang hukum laut sebelum Konvensi Hukum Laut 1982 dilakukan
dalam kerangka penyelesaian sengketa internasional pada umumnya. Dalam hal ini
sengketa hukum laut diselesaikan melalui mekanismemekanisme dan
institusi-institusi peradilan internasional yang telah ada seperti Mahkamah Internasional.
Konvensi Hukum Laut 1982 telah
menyediakan suatu sistem penyelesaian sengketa yang sangat kreatif. Dilihat
dari perkembangan sistem peradilan internasional, mekanisme Konvensi ini
merupakan yang pertama kali yang dapat mengarahkan negara-negara peserta untuk
menerima prosedur memaksa (compulsory
procedures). Dengan sistem Konvensi maka tidak ada lagi ruang bagi
negara-negara peserta untuk menunda-nunda sengketa hukum lautnya dengan
bersembunyi di belakang konsep kedaulatan negara karena Konvensi secara prinsip
mengharuskan negara-negara pihak untuk menyelesaikan sengketanya melalui
mekanisme Konvensi, Negara-negara pihak Konvensi dapat membiarkan suatu
sengketa tidak terselesaikan hanya jika pihak lainnya setuju untuk itu. Jika
pihak lain tidak setuju, maka mekanisme prosedur memaksa Konvensi akan
diberlakukan.
Menurut mekanisme Konvensi, negara-
negara pihak diberi kebebasan yang luas
untuk memilih prosedur yang diinginkan sepanjang itu disepakati bersama.
Prosedur dimaksud termasuk prosedur yang disediakan oleh Pasal 33 paragraf 1
Piagam PBB, mekanisme regional atau bilateral, atau melalui perjanjian
bilateral. Jika dengan prosedur tersebut tetap tidak dicapai kesepakatan, maka
para pihak wajib menetapkan segera cara penyelesaian sengketa yang disepakati.
Jika pada tahap ini masih tidak disepakati, maka para pihak diwajibkan
menjalankan prosedur sesuai dengan lampiran VI Konvensi yaitu melalui
konsiliasi.
Akhirnya jika melalui
prosedur di atas, para pihak tetap belum dapat menyelesaikan sengketanya, maka
diterapkan prosedur selanjutnya yaitu menyampaikan ke salah satu badan
peradilan yang disediakan oleh Konvensi, yaitu :
- -Tribunal Internasional
untuk Hukum Laut
- - Mahkamah Internasional
- -Tribunal Arbitrasi
- -Tribunal Arbitrasi
Khusus.
Negara-negara pihak pada waktu
menandatangani, meratifikasi atau menerima Konvensi, atau pada waktu kapan
saja, melalui suatu deklarasi dapat memilih badan-badan peradilan di atas untuk
mengadili sengketanya. Jika tidak ada deklarasi dimaksud, maka negara pihak
tersebut dianggap memiliki arbitrasi.
Suatu organisasi internasional yang
menjadi pihak pada Konvensi juga dapat memilih badan peradilan di atas, tetapi
tidak dapat memilih Mahkamah Internasional, karena menurut Statutanya, Mahkamah
hanya memiliki jurisdiksi untuk mengadili negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar