Welcome to benupangestu.blogspot.com

Senin, 05 Februari 2018

Resume Hukum Laut (Late Post)

Resume Hukum Internasional
 “Hukum Laut”
(Dari buku yang ditulis oleh Dr. Boer Mauna)




                                                                                      


Oleh : Benu Pangestu
NIM  : 108048000020

Dosen: H. Damanhuri Mustafa, SH

Fakultas Syari’ah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2009


---


Hukum Laut

          Dewasa ini menonjolnya hukum laut bukan saja karena 70% atau 140 juta mil persegi permukaan bumi terdiri dari laut, bukan saja karena laut sebagai penghubung suatu bangsa dengan bangsa lain ke seluruh pelosok dunia untuk segala macam kegiatan, bukan saja karena segala jenis ikan, tapi juga karena adanya  kekayaan mineral di dasar laut itu sendiri.

Definisi
         Laut adalah keseluruhan rangkaian air asin yang menggenangi permukaan bumi. Definisi ini hanya bersifat fisik semata. Laut menurut definisi hukum adalah keseluruhan air laut yang berhubungan secara bebas di seluruh permukaan bumi . Jadi, laut mati , Laut Kaspia, and the Great Salt Lake yang terdapat di Amerika Serikat dari segi hukum tidak dapat dikatakan laut karena laut-laut tersebut tertutup dan tidak mempunyai hubungan dengan bagian-bagian laut lainnya di dunia, walaupun airnya asin dan menggenangi lebih dari satu negara pantai seperti halnya dengan Laut Kaspia.

Pentinganya Hukum Laut
     Pentingnya laut dalam hubungan antarbangsa menyebabkan pentingnya pula arti hukum laut internasional. Tujuan hukum ini adalah untuk mengatur kegunaan rangkap dari  laut, yaitu sebagai jalan raya dan sebagai sumber kekayaan serta sebagai sumber tenaga. Karena laut hanya dapat dimanfaatkan dengan kendaraan –kendaraan khusus , yaitu kapal-kapal tersebut. Di samping itu, hukum laut juga harus mengatur kompetisi antara negara-negara dalam mencari dan menggunakan kekayaan yang diberikan laut, terutama sekali antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang.

Sumber-sumber Hukum Laut

      Sampai pada tahun 1958, ketentuan-ketentuan umum mengenai laut terutama didasarkan atas hukum kebiasaan . Ada beberapa konvensi yang mengatur hal-hal khusus yaitu :
-          Konvensi Menyelamatkan Jiwa Manusia di Laut, 20 januari 1914
-          Konvensi Bruxelles, 10 mei 1952 mengenai Tabrakan Kapal-kapal di laut.       

Kodifikasi 1958

         Tahun 1958 merupakan tahap penting dan bersejarah bagi perkembangan hukum laut internasional karena di tahun itu PBB menyelenggarakan suatu Konferensi Hukum Laut di Jenewa dari 24 Februari sampai dengan 29 April 1958 dengan nama Konferensi PPBB I tentang Hukum Laut dan dihadiri 86 negara.

A. Konferensi PBB III Tentang Hukum Laut

        Konvensi PBB tentang Hukum Laut yang diterima Konfederasi Hukum Laut III pada tanggal 30 April 1982 pada sidangnya yang ke-11 di New York untuk ditandatangani  mulai tanggal 10 Desember tahun yang sama di Montego Bay, Jamaica, merupakan karya hukum masyarakat internasional yang terbesar di abad ke-20.  Konferensi ini bukan saja yang terbesar, terpanjang, tetapi juga terpenting dalam sejarah konfederasi internasional, sepanjang yang diketahui, dimana dimulai sejak desember 1973.

        Hal ini juga merupakan keberhasilan Indonesia karena rancangan itu berisikan satu bab khusus mengenai  negara kepulauan (Pasal 46 – 54) yang telah diperjuangkan dengan segala jerih payah selama seperempat abad.

       Kemenangan ini merupakan kemenangan bagi seluruh masyarakat internasional karena telah berhasil mengakomodasikan berbagai macam kepentingan antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang; antara berbagai kelompok negara seperti antara negara-negara pantai dan tak berpantai.

B. Laut Lepas
        Sudah merupakan suatu ketentuan yang berasal dari hukum kebiasaan bahwa permukaan laut dibagi atas beberapa zona dan yang paling jauh dari pantai dinamakan laut lepas. Sedangkan Pasal 86 konvensi PBB tentang Hukum Laut menyatakan bahwa Laut lepas merupakan semua bagian dari laut yang tidak termasuk dalam zona ekonomi eksklusif, dalam laut territorial atau dalam perairan pedalaman suatu negara, atau dalam perairan kepulauan suatu negara kepulauan.

            Penelitian mengenai laut lepas dibagi atas tiga bagian, yaitu :
b.1. Prinsip kebebasan di laut lepas
b.2. Status hukum kapal-kapal di laut lepas
b.3. Pengawasan-pengawasan di laut lepas.

Pengawasan di laut lepas terdiri dari dua macam, yaitu :
1.       Pengawasan umum
      Pengawasan umum ini terdiri dari pengawasan biasa, inspeksi dan bahkan tindakan kekerasan yang bertujuan untuk menjamin keamanan umum lalu lintas laut. Sehingga berdasarkan wewenang absolut suatu negara bendera, maka kapal-kapal publik hanya tunduk pada kapal-kapal perang negaranya. Sebaliknya, kapal-kapal perang semua negara mempunyai wewenang terhadap kapal-kapal swasta negara-negara lain.

2.       Pengawasan khusus
                        Pengawasan-pengawasan khusus ini ada bermacam-macam :
                        2.a. Pemberantasan Perdagangan Budak Belian
                        2.b. Pemberantasan Bajak Laut


C. Landas Kontinen  
            
       Landas kontinen merupakan konsepsi yang relatif baru dalam hukum laut internasional. Pada hakekatnya rezim landas kontinen lahit melalui pernyataan-pernyataan unilateral dan kadang-kadang melalui jalan konvensional. Selanjutnya Konferensi Jenewa 1958 membuat ketentuan-ketentuan mengenai dasar laut tersebut yang kemudian disempurnakan dalam konvensi.
 
          Konvensi mengenai Landas Kontinen berhasil untuk menentukan secara umum, rezim yang sama mengenai landas kontinen. Konvensi yang berisikan 15 pasal tersebut memulai berlaku 10 Juni 1964 setelah ratifikasi ke-22 oleh Inggris.

          Landas Kontinen dari Segi Hukum
      Kekayaan-kekayaan mineral di landas kontinenlah yang menyebabkan hukum menjadi tertarik terhaap persoalannya. Siapa yang dapat memiliki landas kontinen tersebut?  Siapa saja yang berhak mengeksploitir kekayaan-kekayaan alamnya dan mengambil tindakan-tindakan untuk melindungi kekayaan-kekayaan mineral tersebut? Untuk bagian landas kontinen yang terletak di bawah laut wilayah suatu negara pantai tak ada persoalan karena rezim landas kontinen tersebut mengikuti rezim laut wilayah yang terdapat di atasnya yaitu tunduk sepenuhnya pada negara pantai.

       Dalam hal ini hukum internasional positif telah berhasil menerima suatu solusi kompromi yang boleh disebut menguntungkan negara-negara pantai. Ketentuan-ketentuan pokok yang menjadi dasar kompromi ini berasal dari empat sumber yaitu : preseden sebagai hasil praktek negara-negara sebelum tahun 1958,  Konvensi Jenewa 1958 tentang Landas Kontinen yang menerima keseluruhan praktek tersebut, praktek-praktek dan yurisprudensi sesudah tahun 1958 dan akhirnya ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Konvensi.

D. Zona Ekonomi Eksklusif

         Zona Ekonomi Eklusif adalah zona yang luasnya 200 mil dari garis dasar pantai, yang mana dalam zona tersebut sebuah negara pantai mempunyai hak atas kekayaan alam di dalamnya, dan berhak menggunakan kebijakan hukumnya, kebebasan bernavigasi, terbang di atasnya, ataupun melakukan penanaman kabel dan pipa. Konsep dari ZEE muncul dari kebutuhan yang mendesak. Sementara akar sejarahnya berdasarkan pada kebutuhan yang berkembang semenjak tahun 1945 untuk memperluas batas jurisdiksi negara pantai atas lautnya, sumbernya mengacu pada persiapan untuk UNCLOS III.

Batas luar
Batas dalam ZEE adalah batas luar dari laut teritorial. Zona batas luas tidak boleh melebihi kelautan 200 mil dari garis dasar dimana luas pantai teritorial telah ditentukan. Kata-kata dalam ketentuan ini menyarankan bahwa 200 mil adalah batas maksimum dari ZEE, sehingga jika ada suatu negara pantai yang menginginkan wilayahnya ZEE-nya kurang dari itu, negara itu dapat mengajukannya. Di banyak daerah tentu saja negara-negara pantai tidak akan memilih mengurangi wilayahnya ZEE kurang dari 200 mil, karena kehadiran wilayah ZEE negara tetangga. Kemudian timbul pertanyaan mengapa luas 200 mil menjadi pilihan maksimum untuk ZEE. Alasannya adalah berdasarkan sejarah dan politik: 200 mil tidak memiliki geografis umum, ekologis, dan biologis nyata. Pada awal UNCLOS zona yang paling banyak diklaim oleh negara pantai adalah 200 mil, diklaim negara-negara Amerika Latin dan Afrika. Lalu untuk mempermudah persetujuan penentuan batas luar ZEE maka dipilihlah figur yang paling banyak mewakili klaim yang telah ada. Tetapi tetap mengapa batas 200 mil dipilih sebagai batas luar jadi pertanyaan.

Batasan
Dalam banyak wilayah negara banyak yang tidak bisa mengklaim 200 mil penuh, karena kehadiran negara tetangga, dan itu menjadikan perlu menetapkan batasan ZEE dari negara-negara tetangga, pembatasan ini diatur dalam hukum laut internasional.

Pulau-pulau
Pada dasarnya semua teritori pulau bisa menjadi ZEE. Namun, ada 3 kualifikasi yang harus dibuat untuk pernyataan ini. Pertama, walau pulau-pulau normalnya bisa menjadi ZEE, artikel 121(3) dari Konvensi Hukum Laut mengatakan bahwa, " batu-batu yang tidak dapat membawa keuntungan dalam kehidupan manusia atau kehidupan ekonomi mereka, tidak boleh menjadi ZEE."

Wilayah yang tidak berdiri sendiri
Kualifikasi kedua berkaitan dengan wilayah yang tidak meraih baik kemerdekaan sendiri atau pemerintahan mandiri lain yang statusnya dikenal PBB, dan pada wilayah yang berada dalam dominasi kolonial. Resolusi III, diadopsi oleh UNCLOS III pada saat yang sama pada teks Konvensi, menyatakan bahwa dalam kasus tersebut ketentuan yang berkaitan dengan hak dan kewajiban berdasarkan Konvensi harus diimplementasikan untuk keuntungan masyarakat wilayah tersebut, dengan pandangan untuk mempromosikan keamanan dan perkembangan mereka.

E. Laut Wilayah

        Menurut sistim hukum laut tradisional, permukaan laut secara horizontal dibagi atas beberapa zona dan yang paling dekat dari pantai dinamakan laut wilayah yang sepenuhnya tunduk pada kedaulatan negara pantai. Jadi laut wilayah ialah bagian yang paling dekat dari pantai yang pada umumnya dianggap sebagai lanjutan dari daratannya dan diatas mana negara pantai tersebut mempunyai kedaulatan.

       Dalam hukum laut internasional selain menentukan jarak laut yang dapat diklaim oleh suatu Negara. Juga diperlukan dari mana atau metode apa yang dapat digunakan untuk melakukan penarikan garis pangkal. Untuk mengetahui awal munculnya metode penarikan itu, maka perlu diuraikan sengketa perikanan antara Norwegia dan Inggris yang dikenal dengan Anglo Norwegian Fisheries Case.

       Perkara antara Inggris dan Norwegia mengenai batas perikanan Norwegia ini timbul karena Inggris menggugat sahnya penetapan batas perikanan eksklusif yang ditetapkan oleh Norwegia dalam firman Raja (Royal Decree) tahun 1935 menurut hukum internasional. Yang digugat oleh Inggris bukan lebar jaur wilayah Norwegia sebesar 4 mil, akan tetapi cara penarikan garis pangkal yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis pangkal yang menghubungkan pada pantai Norwegia. Dalam cara penarikan garis pangkal lurus yang dilakukan Norwegia ini deretan pulau di muka pantai (skjaergaard) dianggap sebagai bagaian dari pantai Norwegia.
           
     Akibat ketidaksepakatan Negara Inggris terhadap penarikan garis pangkal lurus tersebut sebagaimana Firman raja Royal tahun 1935, maka dibawalah perkara ini ke Mahkamah Internasional (ICJ). Mahkamah internasional dalam keputusannya menyatakan tidak sependapat dengan pihak Inggris bahwa penarikan garis pangkal lurus oleh Norwegia hanya dapat dibenarkan sebagai suatu pengecualian. Cara penarikan garis pangkal lurus oleh Norwgia tidak lain daripada suatu penetrapan dari pada (suatu kaidah) hukum internasional yang berlaku umum pada suatu keadaan khusus.

      Berdasarkan kasus tersebut di atas maka dapat diurai tiga macam cara penarikan garis pangkal yang didasarkan atas azas pasang surut yakni: (1) cara “trace paralle” di mana garis batas luar mengikuti segala liku dari pada garis pasang surut; (2) cara “arcs of circles” dimana langsung ditetapkan batas luar tanpa adanya garis pangkal terlebih dahulu. Dan (3) cara “straight base line”, dimana garis pangkal ditarik tidak tepat menurut garis pasang surut dengan segala likunya, melainkan ditarik garis-garis lurus yang menghubungkan titik-titik tertentu yang berada pada garis pasang surut.

F. Konsepsi Negara Kepulauan

        Lahirnya konsepsi negara kepulauan
     Ketentuan-ketentuan baru ini pada mulanya dikeluarkan dalam bentuk Pengumuman Pemerintah tanggal 13 Desember 1957, yang kemudian dikenal dengan nama Deklarasi Djuanda yang isinya sebagai berikut :
            Bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia dangan tidak memandang luas  atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar dari pada wilayah daratan negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada dibawah kedaulatan mutlak dari Negara Republik Indonesia.
      Pemerintah Republik Indonesia menyadari bahwa ordonansi kelautan tahun 1939 sangat tidak cocok bagi Negara kelautan seperti Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah Republik Indonesia berusaha memperjuangkan konsep baru tentang kelautan di Indonesia yang akan lebih menguntungkan Republik Indonesia.
      Deklarasi djuanda menetapkan luas laut territorial Indonesia sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik yang terluar dari garis-garis terluar milik Negara Indonesia. Dengan jarak 12 mil laut dan cara pengukuran seperti itu, maka batas laut territorial Indonesia saling bersambungan dan menciptakan satu keutuhan wilayah. Wilayah Indonesia menjadi utuh. Sebagai keuntungannya, tidak terdapat lagi laut bebas atau laut internasional diantara pulau-pulau di Indonesia.

  Pernyataan pemerintah atau Deklarasi Djuanda dalam menetapkan batas perairan nasional mempergunakan konsep Negara kepulauan (archipelagi principle) atau dikenal pula dengan nama konsep wawasan nusantara. Konsep Negara kepualauan menegaskan bahwa suatu Negara kepualaun merupakan satu kesatuan utuh wilayah, yang batas-batasnya ditentukan oleh laut dalam suatu lingkungan yang terdapat pulau-pulau dan gugusan pulau-pulau.

      Dengan menggunakan konsep Negara kepulauan sesuai dengan deklarasi Djuanda jelas akan lebih menguntungkan Indonesia. Laut bukan lagi sebagai pemisah namun sebagai pemersatu. Laut Indonesia pun menjadi bertambah luas dan kekayaan alam pun bertambah, Negara Indonesia juga dapat menciptakan kesatuan dan keutuhan wilayahnya.

G. Kawasan Dasar Laut Internasional

      Persoalan penentuan kawasan dasar laut internasional ini mulai timbul pada tanggal 1 November 1967 di Majelis Umum PBB, di mana Arvid Pardo, Duta Besar Malta, melancarkan gagasan agar daerah dasar laut di luar yurisdiksi nasional dinyatakan sebagai common heritage of mankind (warisan bersama umat manusia). Ini berarti bahwa daerah dasar laut itu hanya dapat digunakan untuk tujuan-tujuan damai dan kekayaan-kekayaan yang terdapat di dasar laut tersebut harus digunakan untuk seluruh kepentingan umat manusia.      

H. Penyelesaian Sengketa Menurut Konvensi Hukum Laut  1982

       Penyelesaian sengketa dalam bidang hukum laut sebelum Konvensi Hukum Laut 1982 dilakukan dalam kerangka penyelesaian sengketa internasional pada umumnya. Dalam hal ini sengketa hukum laut diselesaikan melalui mekanismemekanisme dan institusi-institusi peradilan internasional yang telah ada seperti  Mahkamah Internasional.

       Konvensi Hukum Laut 1982 telah menyediakan suatu sistem penyelesaian sengketa yang sangat kreatif. Dilihat dari perkembangan sistem peradilan internasional, mekanisme Konvensi ini merupakan yang pertama kali yang dapat mengarahkan negara-negara peserta untuk menerima prosedur memaksa (compulsory procedures). Dengan sistem Konvensi maka tidak ada lagi ruang bagi negara-negara peserta untuk menunda-nunda sengketa hukum lautnya dengan bersembunyi di belakang konsep kedaulatan negara karena Konvensi secara prinsip mengharuskan negara-negara pihak untuk menyelesaikan sengketanya melalui mekanisme Konvensi, Negara-negara pihak Konvensi dapat membiarkan suatu sengketa tidak terselesaikan hanya jika pihak lainnya setuju untuk itu. Jika pihak lain tidak setuju, maka mekanisme prosedur memaksa Konvensi akan diberlakukan.
            
        Menurut mekanisme Konvensi, negara- negara pihak diberi kebebasan yang  luas untuk memilih prosedur yang diinginkan sepanjang itu disepakati bersama. Prosedur dimaksud termasuk prosedur yang disediakan oleh Pasal 33 paragraf 1 Piagam PBB, mekanisme regional atau bilateral, atau melalui perjanjian bilateral. Jika dengan prosedur tersebut tetap tidak dicapai kesepakatan, maka para pihak wajib menetapkan segera cara penyelesaian sengketa yang disepakati. Jika pada tahap ini masih tidak disepakati, maka para pihak diwajibkan menjalankan prosedur sesuai dengan lampiran VI Konvensi yaitu melalui konsiliasi.

        Akhirnya jika melalui prosedur di atas, para pihak tetap belum dapat menyelesaikan sengketanya, maka diterapkan prosedur selanjutnya yaitu menyampaikan ke salah satu badan peradilan yang disediakan oleh Konvensi, yaitu :
-          -Tribunal Internasional untuk Hukum Laut
-         - Mahkamah Internasional
-          -Tribunal Arbitrasi
-          -Tribunal Arbitrasi Khusus.

        Negara-negara pihak pada waktu menandatangani, meratifikasi atau menerima Konvensi, atau pada waktu kapan saja, melalui suatu deklarasi dapat memilih badan-badan peradilan di atas untuk mengadili sengketanya. Jika tidak ada deklarasi dimaksud, maka negara pihak tersebut dianggap memiliki arbitrasi.     
      Suatu organisasi internasional yang menjadi pihak pada Konvensi juga dapat memilih badan peradilan di atas, tetapi tidak dapat memilih Mahkamah Internasional, karena menurut Statutanya, Mahkamah hanya memiliki jurisdiksi untuk mengadili negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar