Sabtu, 02 November 2019

TINJAUAN KRITIS TERHADAP KEBERADAAN DELIK KORUPSI DALAM RUU KUHP 2015

TINJAUAN KRITIS TERHADAP KEBERADAAN
DELIK KORUPSI DALAM RUU KUHP 2015

Oleh: Benu Pangestu, SH


A. Latar Belakang
Korupsi tentu bukan lagi masalah yang baru dalam persoalan hukum dan ekonomi pada suatu negara. Karena masalah korupsi telah ada sejak lama, yaitu ribuan tahun yang lalu, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Bahkan perkembangan permasalahan korupsi saat ini sudah demikian parahnya dan menjadi masalah yang sangat luar biasa (extra ordinary) karena sudah meningkat pesat dan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat.

Sadar akan kompleksnya permasalahan korupsi di tengah krisis multidimensional serta ancaman nyata yang pasti akan terjadi yaitu dampak dari kejahatan ini, maka tindak pidana korupsi dapat dikategorikan sebagai permasalahan nasional yang harus dihadapi secara serius melalui keseimbangan langkah-langkah yang kongkrit dengan melibatkan seluruh elemen yang ada di dalam masyarakat khususnya aparat penegak hukum dan pemerintah yang berwenang (authority).
Mengenai kompleksitas terkait dengan permasalah korupsi antara lain yaitu masalah moral, masalah pola hidup, kebudayaan dan lingkungan sosial, kebutuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial, sistem ekonomi, masalah budaya politik, masalah mekanisme pembangunan dan lemahnya birokrasi (termasuk sistem pengawasan) di bidang keuangan dan pelayanan publik, serta religiusitas suatu bangsa.

Sekarang di Indonesia jika orang berbicara mengenai korupsi, pasti yang dipikirkan hanya perbuatan jahat yang menyangkut keuangan negara dan suap. Pendekatan yang dapat dilakukan terhadap masalah korupsi bermacam ragamnya, dan artinya tetap sesuai walaupun kita mendekati masalah itu, dari berbagai aspek.

Tanpa disadari, korupsi muncul dari kebiasaan yang dianggap lumrah dan wajar oleh masyarakat umum. Seperti memberi hadiah kepada pejabat atau pegawai negeri atau keluarganya sebagai imbal jasa sebuah pelayanan. Kebiasaan itu dipandang lumrah dilakukan sebagai bagian dari budaya ketimuran. Kebiasaan koruptif ini lama-lama menjadi bibit-bibit korupsi yang nyata.2

Dari tahun ke tahun sejak tahun lima puluhan, masalah korupsi di Indonesia tidak pernah sepi dari pembicaraan, perdebatan, dan usaha memperbaiki perundang-undangan. Bahkan muncul rasa putus asa untuk memberantasnya. Para penegak hukum terlihat kehilangan akal darimana memulai suatu penindakan. Semakin didalami dan ditelusuri, semakin nyata seperti menelusuri tali yang panjang yang pada akhirnya mencengangkan semua orang bahwa diujung tali tersebut ternyata tersangkut hampir semua elite politik, pengusaha, dan petinggi hukum. Ternyata mereka yang selama ini rajin menggugat koruptor terlibat dalam kisaran puting beliung korupsi pula3

Praktik korupsi di negeri ini telah amat parah. Hasil penelitian Transparancy International terakhir (Tahun 2012) menunjukkan bahwa Indonesia menempati urutan 118 dari 176 negara sejajar dengan ekuador dan madagaskar, dan menjadi salah satu negara terkorup di Asia. Bahkan, gerakan dan komitmen melawan korupsi akhir-akhir ini justru berhadapan dengan “solidaritas koruptif” secara politis.

Rumusan delik yang berkaitan dengan korupsi pada dasarnya telah ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) seperti : suap, perbuatan curang, dan menerima hadiah. Kemudian secara khusus delik korupsi setelah pada tahun 1999 dibentuklah UU No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, lalu menyusul kemudian UU No. 30 Tahun 2002 Tentang KPK sebagai lembaga yang khusus menanganinya pada tanggal 27 Desember 2002.
Seiring dengan berjalannya pemberantasan korupsi di Indonesia yang secara khusus sudah diterapkan dalam UU Tipikor selama kurang lebih 12 tahun, pemerintah bersama dengan DPR pun terus melakukan upaya pembaruan hukum pidana warisan kolonial yang sejak puluhan tahun diberlakukan yakni dengan merevisi KUHP.

Setelah beberapa tahun lalu (Rancangan Undang-Undang) RUU KUHP masuk dalam prolegnas namun belum kunjung terealisasi, nampaknya dalam waktu tidak lama lagi pada tahun ini RUU KUHP akan segera disetujui. Namun, penulis melihat dalam RUU KUHP masih memiliki sejumlah problema, seperti masuknya delik Korupsi dalam RKUHP yang diprediksi oleh banyak pakar akan menimbulkan permasalahan baru dalam pemberantasan korupsi.

B. Pengertian Korupsi
1. Tindak Pidana Korupsi
Kata "korupsi" berasal dari bahasa latin yaitu corruptio atau corruptus. Namun kata corruptio itu berasal pula dari kata asal corrumpere, yaitu suatu kata dalam bahasa latin yang lebih tua. Dari bahasa latin ini kemudian turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris yaitu corruption, Prancis yaitu corruption, Belanda yaitu corruptie. Dari bahasa Belanda inilah yang kemudian turun ke bahasa Indonesia, sehingga menjadi korupsi.4

Menurut Sudarto, secara harfiah, kata korupsi menunjuk pada perbuatan yang rusak, busuk, tidak jujur yang dikaitkan dengan keuangan5. Undang--Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang--Undang No. 20 Tahun 2001 menyebutkan bahwa pengertian korupsi mencakup perbuatan:
 Melawan hukum, memperkaya diri orang/ badan lain yang merugikan keuangan /perekonomian negara (pasal 2);
 Menyalahgunakan kewenangan karena jabatan/kedudukan yang dapat merugikan keuangan/kedudukan yang dapat merugikan keuangan/perekonomian negara (pasal 3);
 Kelompok delik penyuapan (pasal 5, 6, 11, 12A 12B 12C 12D, dan 13);
 Kelompok delik penggelapan dalam jabatan (pasal 8, 9, dan 10);
 Delik pemerasan dalam jabatan (pasal 12E, 12F, dan 12G);
 Delik yang berkaitan dengan perbuatan curang (pasal 7 ayat 1A, 1B,1C, 1D, 7 ayat 2, dan 12H);
 Delik gratifikasi (pasal 12B dan 12C).
 Benturan kepentingan dalam pengadaan (pasal 12i)

2. Ruang Lingkup Tindak Pidana Korupsi
Undang--Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang--Undang No. 20 Tahun 2001 mengalami perluasan delik, UU Tipikor tersebut menyatakan bahwa Tipikor sebagai delik formal, namun pengertian melawan hukum dalam suatu Tipikor sebagai delik formal dan material.
Sementara, pengertian sifat melawan hukum formil dan materiil, secara tegas ada dalam Penjelasan atas Undang--Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang--Undang No. 20 Tahun 2001 bagian umum yang berbunyi sebagai berikut :
“Agar dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara atau perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit, maka tindak pidana yang diatur dalam Undang--undang ini dirumuskan sedemikian rupa sehingga meliputi perbuatan-- perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara “melawan hukum” dalam pengertian formil dan materiil.
Dengan perumusan tersebut, pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dapat pula mencakup perbuatan--perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana.

Dalam Undang--undang ini, tindak pidana korupsi dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil. Hal ini sangat penting untuk pembuktian. Dengan rumusan secara formil yang dianut dalam Undang--undang ini, meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke pengadilan dan tetap dipidana.”

C. UU Tipikor Sebagai Lex Specialis Dari KUHP
Hukum pidana yang berlaku di Indonesia sekarang ini ialah hukum pidana yang dikodifikasi, yaitu sebagian terbesar dan aturan--aturannya telah disusun dalam satu kitab undang--undang (Wetboek), yang dinamakan Kitab Undang--Undang Hukum Pidana, menurut suatu sistem yang tertentu.
Aturan--aturan pidana yang ada di luar Wetboek ini, seperti dalam peraturan lalu lintas (wegverkeersordonantie dan Wevgerkeersverordening), dalam peraturan Deviezen, dalam peraturan pemilihan anggota konstituante dan DPR (Undang--Undang Tahun 1952 Nomor 7), dan masih banyak peraturan--peraturan lain, semua tunduk kepada sistem yang dipakai dalam Kitab Undang--Undang Hukum Pidana6, hal mana ternyata dan Pasal 103 KUHP, yang berbunyi :7
“Ketentuan--ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan--perbuatan yang oleh ketentuan perundangan yang lain diancam dengan pidana, kecuali jika oleh Undang--Undang ditentukan lain”
Pengaturan mengenai tindak pidana korupsi di Indonesia saat ini diatur dalam Undang--Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang--Undang No. 20 Tahun 2001 yang kita sebut UU Tipikor.
Sebelum adanya undang--undang yang khusus mengatur tindak pidana korupsi, tindak pidana yang serupa dengan tindak pidana korupsi dikenakan ketentuan Kitab Undang--Undang Hukum Pidana terutama Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, dan 435 KUHP.8
Setelah adanya Undang--Undang tersendiri yang mengatur tindak pidana korupsi, maka yang harus diberlakukan adalah ketentuan UU Tipikor sebagaimana diatur Pasal 63 ayat (2) KUHP :9

“Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.”
Bunyi Pasal 63 ayat (2) KUHP inilah yang juga dikenal dalam ilmu hukum sebagai asas lex specialis derogat legi generalis, yaitu aturan hukum yang lebih khusus mengesampingkan aturan hukum yang lebih umum. Oleh karena itu, UU No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan hukum khusus yang mengatur tentang pemberantasan korupsi.
D. Kedudukan Tindak Pidana Korupsi dalam RUU KUHP
Dalam Rancangan Undang--Undang (RUU) KUHP yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada 2015, delik korupsi masuk dalam pasal 687--706. Adapun delik tindak pidana pencucian uang (TPPU) ada di pasal 767. Adanya delik korupsi dalam RUU KUHP ini ditolak KPK . "Inti masukan KPK, agar delik--delik korupsi tidak dimasukkan dalam rancangan KUHP," kata Pelaksana Tugas (Pit) Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Adji, di gedung KPK, Jakarta, Senin (14/9/2015).

Permintaan itu disampaikan langsung oleh Indriyanto saat menerima Direktur Jenderal Perundang--undangan Kementerian Hukum dan HAM Widodo Ekarjahjana. Sebelumnya,,KPK juga telah menyurati Direktorat Perundang--undangan Kementerian Hukum dan HAM. Dalam surat itu, KPK memberikan masukan agar delik--delik korupsi tidak masuk dalam rancangan KUHP.
Menurut Indriyanto, dalam pemahaman secara akademik dan praktik, masuknya delik tipikor ke dalam KUHP akan mereduksi kewenangan yang dimiliki KPK. Alasannya, korupsi bisa menjadi ranah tindak pidana umum jika diatur dalam KUHP dan bukan lagi menjadi ranah KPK. "Karena, pemahamam secara akademik maupun praktik dalam hal delik tipikor jika masuk ke dalam KUHP menjadi tindak pidana umum. Kalau begitu, bukan ranahnya KPK," ujarnya.
Selain itu, Indriyanto menjelaskan masuknya delik korupsi ke dalam KUHP akan berdampak pada kewenangan yang dimiliki KPK. Termasuk kewenangan melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. "Akan ada reduksi kewenangan yang dimiliki KPK. Ini menyangkut pemeriksa KPK, penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan serta menyangkut wiretapping (penyadapan). Wiretapping kan front gate KPK di penyelidikan."10

Pada tahun sebelumnya, penolakan keberadaan delik tipikor ini pun ditolak oleh akademisi Profesor J.E. Sahetapy. Ketua KHN (Tahun 2014), Profesor J.E. Sahetapy meminta pemerintah bersama DPR RI mengeluarkan delik korupsi dalam RUU KUHP. Sebab, korupsi sebagai kejahatan luar biasa sekarang ini hanya mampu diberantas melalui Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara kelembagaan, dengan senjatanya yang bersifat khusus, yakni UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Hal itu disampaikan J.E. Sahetapy dalam Dialog Hukum, bertajuk “Pro Kontra Delik Tindak Pidana Korupsi dalam RUU KUHP” yang digelar pada Rabu, 12 Maret 2014, bertempat di Ruang Pertemuan Perpustakaan KHN, Lantai 2, Jalan Diponegoro 64 Jakarta Pusat.
Menurut Sahetapy, jikalau delik korupsi tetap dipaksakan untuk masuk dalam RUU KUHP, ia mempertanyakan apakah memang saat ini lembaga kepolisian dan kejaksaan sudah dapat dipercaya? Jadi, menurutnya KPK harus diberi kesempatan untuk bekerja. “Saya mengajak kepada segenap bangsa untuk kembali mengigat sejarah, bahwa dibentuknya KPK oleh karena kepolisian dan kejaksaan sudah tidak dipercaya dalam memberantas korupsi,” jelas Sahetapy.
Atas dasar pendapatnya, Sahetapy berpandangan, bahwa sikap KPK maupun lembaga--lembaga penegak hukum lain yang merasa dirugikan akan keberadaan RUU KUHP sangat beralasan. Khusus KPK, menurutnya, dengan dimasukkannya delik korupsi dalam KUHP, maka tinggal menunggu hari saja nasib KPK. “Jika delik korupsi dimasukkan dalam RUU KUHP, maka pertanyaan saya, apakah KPK yang ada sekarang ini nanti dibubarkan atau tidak? Kalau tidak bagaimana dengan hukum acaranya?,” tanya Sahetapy.
Sahetapy lalu menjelaskan bahwa RUU KUHP terdiri dari dua buku. Buku kesatu mengatur ketentuan umum, buku kedua mengatur tindak pidana.Secara keseluruhan di dalamnya terdapat 766 pasal. Sahetapy menghimbau agar di dalam KUHP perlu dibicarakan betul--betul buku satu, karena di situlah pembahasannya.
Profesor Sahetapy yang mengaku banyak berkontribusi pada awal--awal pembahasan RUU KUHP dan RUU KUHAP memang sangat teguh pada pendiriannya bahwa kedua RUU itu lebih baik dianulir. Ia mengungkapkan alasannya, pada era Presiden Soeharto, para ahli sudah hampir menyelesaikan RUU--RUU itu, tinggal satu atau dua pasal, tetapi begitu era reformasi, RUU itu dinyatakan tidak relevan. “Lain koki, lain masakannya,” jelasnya.11

E. Potensi Sengketa Penanganan Perkara Korupsi
1. Kewenangan KPK
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meskipun merupakan lembaga negara bantu (Auxilary State Organ) yang bersifat ad hoc tapi disebut telah menjadi lembaga super body, yang kewenangannnya menangani perkara korupsi secara khusus berdasarkan pada UU KPK. Mengacu pasal 6 huruf c UU No 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertugas untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, selain tentunya KPK mempunyai tugas koordinasi, supervisi, pencegahan, dan monitor. Pada pasal 11 UU KPK menyatakan bahwa kewenangan KPK melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dengan adanya pembatasan.
Selain dari itu, dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai kewenganan lain seperti :
a. melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;
b. memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri;
c. meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa;12

2. Kewenangan Kepolisian dan Kejaksaan
UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menerangkan bahwa pejabat polisi negara RI adalah bertindak sebagai penyelidik dan penyidik perkara pidana (lihat pasal 4 jo pasal 6 KUHAP). Karena itu, polisi berwenang untuk menyelidik dan menyidik setiap tindak pidana.
Sedangkan untuk kewenangan kejaksaan melakukan penyidikan disebutkan dalam UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan). Menurut pasal 30, kejaksaaan berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang--undang. Kewenangan ini contohnya seperti kewenangan yang dicantumkan dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Penjelasan Umum UU Kejaksaan selanjutnya menjelaskan bahwa kewenangan kejaksaan untuk melakukan penyidikan tindak pidana tertentu dimaksudkan untuk menampung beberapa ketentuan undang--undang yang memberikan kewenangan kepada kejaksaan untuk melakukan penyidikan. Jadi, kewenangan kejaksaan untuk melakukan penyidikan dibatasi pada tindak pidana tertentu yaitu yang secara spesifik diatur dalam UU.

3. Potensi Sengketa Penanganan
Menurut hemat penulis, setelah melihat beberapa peraturan tersebut di atas, maka sangat mungkin terjadinya sengketa penanganan dalam hal penyelidikan dan penyidikan, dan penuntutan yang mana ketiga hal tersebut masuk dalam bidang Penindakan (lihat Pasal 26 [4] UU KPK), sehingga dikhawatirkan KPK hanya akan tajam dari bidang Pencegahannya saja.
Penindakan oleh KPK merupakan mekanisme penting dalam pemberantasan tindak pidana korupsi hingga sampai kepada proses pengadilan tipikor. Meskipun KPK lebih memprioritaskan kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 tapi kedepan mungkin saja instansi kepolisian dan kejaksaan kembali mempunyai conflict of interest dengan KPK. Selain itu bila melihat sejarah perjalanan KPK yang beberapa kali pimpinannya mengalami “kriminalisasi”, apakah kepolisian sudah dapat dipercaya untuk saat ini.

F. Kesimpulan dan Saran
Korupsi menunjuk pada perbuatan yang rusak, busuk, tidak jujur yang dikaitkan dengan keuangan yang sudah tergolong kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang dapat merusak tatanan sendi kehidupan ekonomi dan sosial suatu negara.

KPK adalah lembaga negara bantu (Auxilary State Organ) bersifat Ad Hoc yang dibentuk tahun 2003 dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi berdasarkan UU No 30 Tahun 2002 Tentang KPK dan UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Tipikor yang secara khusus diamanatkan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia merupakan lembaga anti--rasuah yang masih cukup dipercaya saat ini, mengingat konflik kepentingan yang pernah terjadi antara KPK dan Polri dalam sejarah perjalanannya.

Melihat potensi--potensi sengketa yang dapat terjadi antara lembaga KPK dengan Kepolisian dan Kejaksaan dalam penindakan kasus korupsi (penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan) yang dikhawatirkan akan mereduksi kewenangan KPK, serta sifat keluarbiasaan dari pada korupsi ini dapat tereduksi menjadi pidana umum bila delik korupsi dimasukkan ke dalam KUHP yang akan disahkan nantinya. Oleh karena itu, baiknya Pemerintah bersama dengan DPR agar meninjau kembali masuknya delik korupsi ini dalam RUU KUHP.


Footnote;
1 Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, (Jakarta : Rajawali Pers, 2007), Hlm. 6
2 Memahami untuk Membasmi, (Jakarta : Penerbit KPK, 2006), Hlm. 5
3 Andi Hamzah, Ibid, Hlm. vii
4 Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi: Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Edisi Revisi, Raja Grafindo Persada, Jakarta : 2005, hlm.2.
5 Sudarto, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, FH Undip, Semarang : 1976, hlm 2.
6 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana : Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta : 2008, hlm. 17.
7 Andi Hamzah, KUHP & KUHAP Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta : 2011, hlm. 43.
8 Ibid, hlm. 86-169.
9 Ibid, hlm. 29.
10 Republika, 15 September 2015. Diakses pada 14 Juni 2016
11 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5354e9ac8dcd0/pro-kontra-delik-tindak-pidana-korupsi-dalam-ruu-kuhp. Diakses pada 14 Juni 2016.
12 Pasal 12 (1) UU No 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.


DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU--BUKU
Andi Hamzah, KUHP & KUHAP Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta : 2011;
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, (Jakarta : Rajawali Pers, 2007);
Memahami untuk Membasmi, (Jakarta : Penerbit KPK, 2006);
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana : Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta : 2008;
Sudarto, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, FH Undip, Semarang : 1976;

B. PERATURAN PERUNDANG--UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

C. SUMBER LAIN
Republika, 15 September 2015. Diakses pada 14 Juni 2016;
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5354e9ac8dcd0/pro-kontra-delik-tindak-pidana-korupsi-dalam-ruu-kuhp;