EKSISTENSI PIDANA MATI DALAM
PANCASILA DAN HUKUM ALAM
Oleh: Benu Pangestu[1]
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Identifikasi Masalah
Masalah dari tema penelitian
penulis yaitu mengenai banyaknya penolakan dan tekanan dari pihak-pihak
eksternal yang ingin agar hukuman mati dihapuskan dan maraknya kasus kejahatan
luar biasa (extra ordinary crime)
beberapa waktu lalu yang membuat marah dan prihatin yang mendalam masyarakat
Indonesia seperti pembunuhan,
pemerkosaan disertai pembunuhan, hingga pedofil disertai pembunuhan. Bertolak
dari identifikasi masalah tersebut, maka dirumuskan beberapa pokok masalah dari
penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana
Urgensi Pidana Mati dalam Perspektif Filsafat Hukum dan Pancasila?
2. Bagaimana
Peranan Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif terhadap Eksistensi Pidana Mati?
B. Kerangka Pemikiran
Sehubungan dengan mata
kuliah Filsafat Hukum yang kami dalami, sub materi tentang Pidana Mati ini juga
menjadi suatu hal yang menarik untuk disoroti. Karena didalamnya terdapat hal-hal
yang perlu dikaji. Maka dari pada itu, penulis harus memahami hal-hal tersebut
dalam tujuan dan mekanisme yang berlaku sehingga dapatlah ditarik suatu
kesimpulan.
Dalam sejarah perkembangannya,
teori-teori yang berkaitan tentang pidana mati dikemukakan oleh banyak filsuf,
teori-teori pemidanaan mempertimbangakan berbagai aspek sasaran yang hendak
dicapai dalam penjatuhan pidana.[2]
Immanuel Kant, mengatakan bahwa
pidana mengkehendaki agar setiap perbuatan melawan hukum harus dibalas karena
merupakan suatu keharusan yang bersifat mutlak yang dibenarkan sebagai
pembalasan. Oleh karena itu konsekuensinya adalah setiap pengecualian dalam
pemidanaan yang bertujuan untuk mencapai tujuan tertentu selain pembalasan
harus dikesampingkan. Tokoh lain yang menganut teori absolut ini adalah Hegel,
ia berpendapat bahwa pidana merupakan suatu keharusan logis sebagai konsekuensi
dari adanya kejahatan.
Secara yuridis, kejahatan dapat
didefinisikan sebagai suatu tindakan yang melanggar undang-undang atau
ketentuan yang berlaku dan diakui secara legal. Secara kriminologi yang
berbasis sosiologis kejahatan merupakan suatu pola tingkah laku yang merugikan
masyarakat (dengan kata lain terdapat korban) dan suatu pola tingkah laku yang
mendapatkan reaksi sosial dari masyarakat.[3]
Kejahatan adalah pengingkaran
terhadap ketertiban hukum suatu negara yang merupakan perwujudan dari cita-cita
susila, maka pidana merupakan suatu pembalasan. Lebih lanjut Hegel mengatakan
bahwa tindak pidana itu harus ditiadakan dengan melakukan pemidanaan sebagai
suatu pembalasan yang seimbang dengan beratnya perbuatan yang dilakukan. Hugo
de Groot dengan mengikuti pendapat dari Phitagoras, menuliskan bahwa kita tidak
seharusnya menjatuhkan suatu pidana karena seseorang telah melakukan kejahatan,
akan tetapi untuk mencegah supaya orang jangan melakukan kejahatan lagi.
C. Hasil Yang Akan
Diperoleh
Diharapkan dari tulisan ini, akan
diperoleh hasil sebagai berikut :
1. Sebagai kontribusi pemikiran
bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dibidang hukum.
2. Menambah wawasan dan
pengetahuan dalam bidang hukum khususnya tentang tantangan yang dihadapi dalam
menegakkan eksistensi pidana mati di Indonesia.
3. Untuk memperkuat eksistensi
pidana mati dalam system pemidanaan di Indonesia.
BAB
II
PIDANA
MATI DALAM HUKUM NASIONAL
A.
Tujuan Pidana Mati
Menurut
Prof. Dr. Barda Nawawi Arief : bahwa tujuan dari kebijakan pemidanaan yaitu
menetapkan suatu pidana tidak terlepas dari tujuan politik kriminal. Dalam arti
keseluruhannya yaitu perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Oleh
karena itu untuk menjawab dan mengetahui tujuan serta fungsi pemidanaan, maka
tidak terlepas dari teori-teori tentang pemidanaan yang ada.
Tujuan
pemidanaan adalah sebagai berikut :
1. Mencegah dilakukannya tindak
pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat.
2. Memasyarakatkan terpidana
dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna.
3. Menyelesaikan konflik yang
ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa
damai dalam masyarakat.
4. Membebaskan rasa bersalah
pada terpidana.
Tujuan
politik hukum pidana mati diartikan sebagai arah kebijakan hukum (legal policy)
tentang pidana mati yang mencakup kebijakan negara tentang bagaimana hukum
tentang pidana mati itu telah dibuat dan bagaimana pula seharusnya hukum
tentang pidana mati itu dibuat.[4]
Pidana
mati masih menjadi hal yang menarik untuk diperbincangkan, karena selalu
menjadi pembahasan utama karena sering dihubungkan dengan konteks hak asasi
manusia. Pidana mati, bagi pihak yang kontra adalah salah satu bentuk
pelanggaran hak hidup[5].
Penolakan dari pihak-pihak
atas keberadaan pengaturan pidana mati di Indonesia masih berlangsung hingga
sekarang. Dalam berbagai rezim pemerintahan, pidana mati tetap menjadi bagian
dari sistem pidana nasional. Walaupun telah meratifikasi ICCPR pada tahun 2005
dengan Undang-undang
Nomor 12 Tahun 2005, eksistensi pidana mati di Indonesia masih bertahan.[6]
B.
Pidana Mati dalam Peraturan Perundang-undangan
Secara
lex generalis dalam hukum materiil,
adanya pidana mati di Indonesia dicantumkan seperti pada rumusan Pasal 10 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 11 KUHP jo. Undang-Undang Nomor
2/PN.PS/1964, pasal 104 tentang makar yang dimaksudkan untuk menghilangkan nyawa
atau kemerdekaan Presiden atau Wakil Presiden, juga pasal-pasal KUHP yang
mengatur kejahatan terhadap keamanan negara dan pembunuhan berencana yaitu
Pasal 340, dan peraturan perundang-undangan di luar KUHP (lex specialis) yang menetapkan perbuatan pidana dengan ancaman
pidana mati, misalnya Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Terorisme dan Narkotika. Tulisan ini akan meneliti tentang kajian hukum pidana
Indonesia dalam hal pidana mati.
Bahwa
Indonesia termasuk Negara yang masih menganut pidana mati dalam hukum
positifnya. Terkait dengan penerapan pidana mati bertitik tolak pidana mati
sebagai sanksi pidana dengan melihat bahwa yang dituju adalah suatu proyeksi
mengenai efektivitasnya sebagai sarana prevensi maupun represi. Hal ini perlu disoroti,
karena perihal pidana mati mengenai perlu atau tidaknya diterapkan sebaiknya
juga dilihat apakah terpidana mati dapat memberikan pengaruh agar tujuan
pemidanaan untuk mengurangi kejahatan. Sehingga perlu dikemukakan kembali,
perspektif pidana mati dalam Pancasila.[7]
BAB
III
PIDANA
MATI DALAM PERSPEKTIF PANCASILA
A.
Dibentuknya Pancasila
Ketika
para pendiri negara mempersiapkan pendirian Negara Republik Indonesia, mereka
telah secara sadar bersepakat untuk menolak Individualisme, untuk keluar dari
pengaruh grand paradigm saat itu, dan
memilih untuk melandaskan organisasi negara dan penyelenggaraan pemerintahan
pada jatidiri bangsa Indonesia sendiri, yakni pandangan hidup yang terbentuk
dalam kultur bangsa Indonesia (Volksgeist
bangsa Indonesia). Pandangan hidup tersebut ditampilkan oleh Sukarno dalam
wujud lima asas (sila) yang kemudian dinamakan Pancasila.[8]
Dapat
dilihat arti dan makna hubungan yang dapat dijadikan dasar untuk adanya hukum dalam
formulasi Pancasila. Apabila dicermati dari Sila-sila Pancasila, yaitu.
Pertama, Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Kedua, Sila Kemanusiaan Yang Adil dan
Beradab. Ketiga, Sila Persatuan Indonesia. Keempat, Sila Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawatan/ perwakilan. Kelima,
Sila Keadilan Sosial dari kelima sila-sila tersebut terdiri dari tiga
unsur penting, yaitu (a) Tuhan, (b) manusia, dan (c) alam.
B.
Esensi Pancasila
Dari
ketiga esensi tersebut dapat dipahami bahwa Tuhan sebagai dunia idea (ruh),
alam (dunia) sebagai materi, dan manusia tempat berpadunya dunia idea (ruh) dan
materi (alam). Saripati dari tiga unsur itu asalnya adalah roh dan materi.
Esensi ruh dan meteri terlihat jelas pada diri manusia, sesuai dengan esensinya
yang demikian itu, manusia mempunyai kedudukan dan fungsi yang sentrum
dan penting di dunia.
Keberadaan
dari tiga esensi itu saling berhubungan satu sama lainnya dan merupakan satu
kesatuan yang saling terkait pula antara satu dengan lainnya. Bertitik tolak
bahwa hubungan adalah hal yang esensial untuk adanya hukum, maka berdasarkan
Pancasila, ada tiga pola hubungan yang paling mendasar, yaitu:
1. Hubungan
Tuhan dengan manusia, dan alam.
2. Hubungan
antar sesama manusia.
3. Hubungan
antar manusia dan alam lingkungan.
Ketuhanan
Yang Maha Esa, memimpin cita-cita kenegaraan. Sebagai causa prima, pengakuan
adanya keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sila Perikemanusiaan, adalah
sebagai sendi yang utama untuk melaksanakan masyarakat sosialis Indonesia, sehingga
pidana mati dapat digunakan sebagai alat radikal, guna mencegah tindakan di
luar batas-batas perikemanusiaan demi terlaksananya cita-cita masyarakat
sosialisme Indonesia.
BAB
IV
PIDANA
MATI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ALAM
A. Sejarah Hukum Alam
Sejarah hukum alam adalah
kisah kegagalan ummat manusia dalam mencari keadilan absolut. Berulang kali,
dalam kurun waktu 2500 tahun yang lalu, muncul pemikiran tentang hukum alam,
dalam berbagai bentuknya, sebagai suatu ungkapan
untuk mencari cita-cita yang lebih tinggi dari hukum positif yang telah
ditolak dan dicemoohkan pada interval waktu
tertentu.[9]
Sebagai dasar dari tatanan dari
internasional, hukum alam dalam perkembangannya telah diilhami oleh kaum Stoa,
ilmu hukum Romawi dan filsafat, pemuka-pemuka gereja, tatanan hukum masyarakat
barat pada abad pertengahan dan sistem hukum internasional dari Grotius;
melalui teori-leori Locke dan Paine, hukum alam telah meletakkan landasan bagi
filsafat individualistis dari konstitusi Amerika dan konstitusi modern lainnya.[10]
Dalam Bahasa Indonesia, istilah
“hukum alam” lebih menandakan lex naturae
dalam arti yang umum, yaitu sebagai daya yang menyebabkan bahwa segala yang ada
di dunia ini berjalan menurut aturan yang telah ditetapkan. Karenanya untuk
mengungkapkan arti lex naturalis
sebaiknya dipakai istilah lain yaitu hukum kodrat.
Hukum kodrat lebih kuat dari pada
hukum positif, sebab menyangkut makna kehidupan manusia sendiri. Karenanya
hukum itu mendahului hukum yang dirumuskan dalam undang-undang dan berfungsi
sebagai azas bagi hukum yang dirumuskan dalam undang-undang tersebut. Dengan
kata lain hukum adalah aturan, basis bagi aturan itu ditentukan dalam aturan
alamiah yang terwujud dalam kodrat manusia.[11]
Hukum Tuhan sejatinya adalah hukum
yang tertinggi (supreme law), dan
pada dasarnya kitab-kitab yang telah diwahyukan Tuhan dengan perantara Malaikat
kepada pada Nabi baik berupa Taurat (Torah)
yang diterima Nabi Musa (Moses) yang disebut sebagai Perjanjian Lama maupun
Injil (Gospel) kepada Nabi Isa
(Jesus) yang disebut sebagai Perjanjian Baru yang mana keduanya disatukan dalam
satu buku Alkitab (Bible), hingga
diturunkannya Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad merupakan ajaran samawi (langit)
oleh Allah SWT, namun kitab-kitab sebelum Al-Quran telah diteliti dan diyakini
banyak cendikiawan telah mengalami perubahan oleh karena campur tangan manusia.
B. Pandangan Hukum Islam
Ancaman pidana mati selain terdapat
dalam Bible, juga ada dalam Al-Qur’an
yang dikenal dalam hukum Islam yang disebut Qishash.
Oishash dalam hukum Islam adalah
hukuman setimpal, hukum bunuh yang harus dilaksanakan terhadap diri seseorang
yang telah melakukan pembunuhan. Tapi hukum ini tidak harus dilaksanakan,
dengan kata lain hukum ini dapat gugur manakala ahli waris yang terbunuh
memberi maaf kepada pihak yang membunuh dengan membayar suatu diyat.
Pandangan Islam terhadap pidana mati
tercantum dalam Al-Qur’an Surat AI-Baqarah ayat 178 dan 179, yang terjemahannya
sebagai berikut:
Ayat 178 ; "Hai orang- orang
yang beriman, diwajibkan atasmu Qishash berkenaan dengan orang-orang
yang dibunuh; orang merdeka dengan orang
merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya,
wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudara terbunuh, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik,
dan hendaklah (yang diberi
maaf) membayar diyat kepada pihak yang memberi maaf
dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah satu keringanan dari Tuhanmu, dan suatu rahmat.
Barang siapa yang melampaui
batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih."
Ayat 179 ; “ Dalam hukum Qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal,
supaya kamu bertaqwa".
BAB
V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dapat disimpulkan dari apa yang
telah dibahas, bahwa tujuan dari kebijakan pemidanaan yaitu menetapkan suatu
pidana tidak terlepas dari tujuan politik kriminal. Dalam arti keseluruhannya
yaitu perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan.
Ketuhanan Yang Maha Esa, memimpin
cita-cita kenegaraan. Sebagai causa prima, pengakuan adanya keyakinan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa. Hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum Nasional,
tentu memiliki peran dan legal standing
yang kuat dalam pembentukan pidana mati.
Nilai Ketuhanan pada sila pertama sebagai
asas tertinggi dan sila kedua yaitu Kemanusiaan yang adil dan beradab, adalah
sebagai sendi yang utama untuk melaksanakan pidana mati, sehingga pidana mati
dapat digunakan sebagai alat radikal, guna mencegah tindakan di luar
batas-batas perikemanusiaan demi terlaksananya cita-cita masyarakat yang adil
dan makmur.
B. Saran
Dari kesimpulan yang telah
ditarik, maka sudah seharusnya lembaga Legislatif sebagai pembentuk Undang-Undang
bersama dengan Eksekutif sebagai pelaksana, dan Yudikatif yang juga dapat
menjadi sebagai pembentuk hukum (negative
legislator) harus bersinergi untuk memperkuat eksistensi dan menambah hukum
pidana mati dalam peraturan perudang-undangan yang ada guna efek jera pelaku
tindak pidana demi kemajuan sistem pemidanaan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Abul Ghofur Anshori,
Filsafat Hukum, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2006
Ahmad Hanafi, Asas-asas
Hukum Pidana Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1990
Andi Hamzah dan A.
Sumagelipu, Pidana Mati Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia,
Bernard Arief Sidharta,
Filsafat Hukum Dalam Konteks Ideologi Negara Pancasila, Bandung : Tanpa Penerbit, 2012
Dwinda Priyanto, Sistem
Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Bandung : PT. Rafika Aditama, 2009
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan
Konstitusi, Rajawali Pers,Jakarta, 2010
_______________, Politik
Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 2001
Muhammad Mustafa,
Kriminologi, Depok : FISIP UI PRESS, 2007
W. Freidmann, Teori dan
Filsafat Hukum Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum, Jakarta : Rajawali Pers, 1990
[2] Dwinda Priyanto, Sistem
Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Bandung : PT. Rafika Aditama, 2009,
hlm. 22.
[3] Muhammad Mustafa, Kriminologi.
Depok: FISIP UI PRESS, 2007, hlm 16.
[4] Pengertian ini disandarkan
pada definisi konsep tentang politik hukum, Moh. Mahfud MD., Politik Hukum di
Indonesia, LP3ES, Jakarta, 2001, hlm. 9.
[5] Ahmad Hanafi, Asas-asas
Hukum Pidana Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1990, hlm.300-301.
[6] Moh. Mahfud MD., Membangun
Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Rajawali Pers,
Jakarta,
2010, hlm. 200.
[7] Andi Hamzah dan A.
Sumagelipu, Pidana Mati Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia,hlm 69-77
[8] Bernard Arief Sidharta,
Filsafat Hukum Dalam Konteks Ideologi Negara Pancasila, Bandung : Tanpa
Penerbit, 2012, hlm. 6
[9] W. Freidmann, Teori dan Filsafat
Hukum Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum, Jakarta : Rajawali Pers, 1990, hlm.
47.
[10] Ibid, hlm. 49
[11] Abul Ghofur Anshori,
Filsafat Hukum, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2006, hlm. 88.